Rabu, 07 April 2010

haa iki tentang suap priyayi modern

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/07/03211786/suap.priayi.modern

Suap Priayi Modern
Rabu, 7 April 2010 | 03:21 WIB
Oleh Indra Tranggono
Gurita suap yang dipaparkan Kompas, Senin (5/4), menunjukkan sangat meratanya pejabat negara yang gampang disentuh penyuapan; mulai dari lembaga peradilan, kejaksaan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, polisi, pengacara, DPR, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bea dan Cukai, kementerian, hingga Komisi Yudisial.
Kenyataan itu menunjukkan, di negeri ini korupsi dilakukan dengan kompak, manis, dan tentu tanpa rasa bersalah. Bahkan, sangat mungkin para koruptor punya semboyan yang cukup heroik: ”korupsi adalah hak setiap bangsa”.
Seiring ringannya hukuman, praktik suap atau korupsi pun semakin progresif. Jika pada masa Orde Baru uang yang dikorupsi masih sekitar puluhan sampai ratusan juta, kini miliaran bahkan triliunan rupiah. Koruptor kelas jutaan dianggap ecek-ecek, sedangkan koruptor kelas miliaran atau triliunan dianggap militan dan canggih. Masing-masing koruptor ”bersaing” jadi progresif dan militan. Korupsi pun mengenal liberalisme!
Progres capaian nominal korupsi bukan hanya mencerminkan peningkatan kerakusan para koruptor, melainkan juga menunjukkan tingkat resistensi yang tinggi atas moralitas (integritas) dan keadilan. Logikanya, semakin besar uang yang ditilep, semakin rendah martabat sang koruptor. Dalam skop lebih luas, logika itu bisa juga dipakai untuk membaca kenyataan: semakin banyak dan lengkap pejabat negara melakukan korupsi, semakin rendah martabat para penyelenggara negara. Dampaknya: penderitaan rakyat pun semakin meluas dan mendalam alias masif.
”Cash flow” tinggi
Sejak Orde Baru, para pejabat negara semakin tegas menjadi kelas menengah yang dapat digolongkan sebagai priayi modern. Mereka tidak hanya menguasai modal kultural dan simbolis, melainkan juga modal ekonomi. Pada saat itulah, nilai-nilai kepriayian tercampur dengan nilai-nilai ekonomi dan bahkan jadi cenderung identik dengannya. Kepriayian minus kemampuan ekonomis tak akan sempurna meskipun hal yang sebaliknya cenderung tetap juga berlaku. Maka, menjadi priayi tidak lagi dibayangkan sekadar jadi pegawai negeri, orang kantoran, dengan gaya hidup priayi, melainkan sekaligus memperoleh kekayaan (Umar Kayam: Kelir Tanpa Batas: 2001).
Pergeseran kepriayian yang diurai Umar Kayam menunjukkan betapa konotasi ”memperoleh kekayaan” atau ”kemampuan ekonomis” cukup menonjol dalam status dan peran priayi modern saat ini. Tuntutan ”harus kaya” atau ”harus bergaya hidup mewah” akhirnya jadi beban para priayi modern. Jika tak kuat menyangga beban itu, para priayi modern terpaksa mengeksploitasi peran sosialnya, termasuk dengan cara menyimpang.
Gaya hidup mewah menuntut arus kas (cash flow) yang tinggi dan ajek. Namun, jika gaji tidak mencukupi, korupsi/suap akhirnya dipilih sebagai jalan. Apalagi jika para priayi modern itu masih harus dituntut untuk mengongkosi biaya sosial lain karena menjadi patron masyarakat, terutama keluarga besar priayi bersangkutan. Tuntutan ini meniscayakan priayi mempunyai modal ekonomi yang besar dan sering kali menjerumuskan mereka ke dalam tindakan korupsi (Heather Sutherland: 1983).
Penjelasan Sutherland bisa dijodohkan dengan contoh, misalnya masyarakat yang materialistis selalu menuntut pejabat harus kaya, punya mobil mewah, punya banyak rumah, berpenampilan perlente, dan tuntutan lain yang memenuhi citra orang sukses. Kekayaan dan penampilan fisik sering dijadikan sebagai ukuran kepribadian seseorang.
Kini kita pun sulit menemukan pejabat yang hidup dan berpenampilan sederhana, tetapi memiliki integritas, komitmen, dan kemampuan seperti, misalnya, hakim, anggota DPR, jaksa, dan polisi yang naik mobil dan rumah sederhana. Kenyataan yang menonjol adalah pejabat yang berpenampilan bak selebritas atau pesohor. Citra dianggap segalanya. Di luar itu, dianggap tidak bonafide. Mindset ini turut andil dalam maraknya budaya korupsi di kalangan pejabat.
Saatnya kepriayian dikembalikan kepada maknanya yang sejati, yakni kelas menengah yang mendapatkan pencerahan melalui pendidikan dan nilai-nilai kearifan sehingga mampu memancarkan fajar budinya kepada masyarakat yang lemah atau dilemahkan oleh struktur dan kultur. Pancaran fajar budi itu mewujud dalam solidaritas sosial dan solidaritas kebangsaan.
Betapa mulia jika pejabat negara atau kelas menengah lain memiliki etos kepriayian yang tercerahkan. Mereka selalu menyadari, keberadaan mereka berasal dari rakyat: pemilik sah kedaulatan. Jika nekat berkhianat, misalnya menerima suap, pasti kualat. Siapa pun pejabat yang tak berada dalam hati nurani rakyat pasti terjungkal, cepat atau lambat. Mungkin juga mereka harus siap menghadapi regu tembak jika hukuman mati bagi koruptor diberlakukan. Tak ada untungnya ngeman koruptor. Juga tak perlu ada karangan bunga buat kematian mereka.
Indra Tranggono Pemerhati Budaya, Bermukim di Yogyakarta

Sabtu, 03 April 2010

haa iki tentang pati yang tengah diperiksa propam

Sumber : http://inilah.com/news/read/politik/2010/04/03/436732/2-jenderal-akui-tak-tahu-soal-rekening-gayus/
Politik
03/04/2010 - 19:52
2 Jenderal Akui Tak Tahu Soal Rekening Gayus
Gayus Tambunan
(inilah.com/Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta - Dua jenderal polisi yang sedang diperiksa terkait kasus dugaan markus Pajak Gayus Tambunan, saling lempar. Sampai saat ini, keduanya masih diperiksa terkait kode etik.
Brigjen Edmon Ilyas, melalui TR Kapolri sudah dicopot jabatannya dari Kapolda Lampung. Edmon menduduki jabatan itu sejak tanggal 17 Oktober 2009.
Sumber INILAH.COM di Mabes Polri menyatakan, pemeriksaan terhadap Edmon Ilyas dilakukan secara maraton. Sampai berita ini diturunkan, Edmon masih menyatakan tidak tahu-menahu dengan uang di rekening Gayus senilai Rp 24,6 Miliiar.
Masih menurut sumber itu, Brigjen Edmon Ilyas menegaskan bahwa dirinya sudah melakukan pengawasan terhadap proses pemberkasan kasus Gayus sampai dirinya tidak lagi menjabat sebagai Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim.
"Saya hanya sampai masuk Kejaksaan, tapi setelah itu saya tidak tahu lagi. Itu sudah orang lain," ujar Edmon seperti disampaikan oleh sumber INILAH.COM.
Sementara, Brigjen Raja Erizman yang juga diperiksa secara terpisah mengaku tidak tahu tentang proses penyidikan terhadap rekening Gayus Tambunan itu.
Menurut Raja yang sekarang masih menjabat sebagai Direktur II Ekonomi Khusus Bareskrim, saat proses berlangsung Raja belum menjabat di Direktur II.
Pada 14 Juli 2009 sampai 17 Oktober 2009 Raja menjadi Wakil Direktur III Pidana Korupsi Bareskrim.
Sementara, Edmon beralasan bahwwa berkas yang sudah disetorakan ke Kejagung pada 7 Oktober 2009 itu ditolak dan dikembalikan dengan perbaikan ( status P-19) pada 21 Oktober 2009.
Nah, setelah dikembalikan itu menurut Edmon, dirinya tak lagi terlibat. "Pada saat itu Edmon mengaku sudah tidak aktif lagi di Direktur II," kata sumber itu.
Terkait keterangan dua jenderal ini, tim penyidik Independen yang dibentuk Kapolri untuk mengungkap kasus ini, akan segera berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan Agung.[*/ims]

haa iki pati yang terindikasi melanggar kode etik

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/04/03/165234/1331289/10/brigjen-edmon-brigjen-raja-terindikasi-melanggar-kode-etik?881103605
Sabtu, 03/04/2010 16:52 WIB
Brigjen Edmon & Brigjen Raja Terindikasi Melanggar Kode Etik
Muhammad Taufiqqurahman - detikNews

Jakarta - Brigjen Pol Edmon Ilyas dan Brigjen Pol Raja Erizman terindikasi melakukan pelanggaran kode etik terkait kasus Gayus Tambunan. Keduanya dinilai lalai dalam penanganan kasus itu.

"Terkait penanganan oleh Divisi Propam, terperiksa ada indikasi melakukan kelalaian dalam menangani kasus. Indikasinya pelanggaran kode etik," kata Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Sulistyo Ishak di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Sabtu (3/4/2010).

Edmon yang pernah menjabat sebagai Direktur Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, dan Raja sebagai penggantinya dinilai tidak melaksanakan prosedur yang diharuskan.



"Mestinya dilakukan penahanan, tetapi tidak dilakukan penahanan," tambahnya.

Sementara terkait dugaan keterlibatan jenderal bintang tiga yang disinyalir anggota Komisi III DPR Bambang Soesatyo, Mabes Polri belum sampai kepada pembahasan itu.

"Tidak ada, tidak disebut-sebut soal jenderal bintang tiga," terangnya.

Sementara itu, dalam rapat analisa dan evaluasi yang dilakukan Polri, sejauh ini 3 tim yang dibentuk sudah melakukan cek dan ricek.

"Yang perLu diSampaikan, sudah ditahan 7 orang, yaitu GT (Gayus Tambunan), AK (Andi Kosasih), SS (perwira Polri berpangkat AKP), A (Kompol Arafat), L, HH (Haposan Hutagalung), dan AL. Untuk agenda hari ini dilakukan pemeriksaan atas tersangka yang sudah ditahan," terangnya.

(ndr/ken)

haa iki tentang kapolri

Sumber : http://www.detiknews.com/read/2010/04/03/175315/1331320/10/yudi-latief-semestinya-kapolri-sudah-mundur?881103605
Sabtu, 03/04/2010 17:53 WIB
Markus Pajak Rp 28 Miliar
Yudi Latief: Semestinya Kapolri Sudah Mundur
Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta - Rangkaian kasus penyalahgunaan wewenang oleh oknum petinggi Mabes Polri seharusnya cukup menjadi alasan bagi Jendral Pol. Bambang Hendarso Danuri mengundurkan diri sebagai Kapolri. Cukup alasan pula bagi Presiden SBY mencopot pembantunya itu.
Demikian tanggapan pengamat hukum tata negara Yudi Latief tentang keterlibatan oknum Polri dalam kasus Gayus Tambunan. Hal ini dia sampaikan di sela diskusi bertajuk "Tuntaskan Skandal Century" di Galeri Cafe, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/4/2010).

"Terlalu banyak kasus dan itu tanggung jawab Kapolri, semestinya dia sudah mundur. Saya tidak paham mengapa Presiden SBY masih mempertahankan Kapolri yang berkali-kali melakukan kesalahan fatal," ujar Yudi.

Menurutnya kesalahan fatal Kapolri Jendral Bambang Hendarso Danuri yang mencolok adalah kriminilasi dua pimpinan KPK. Kemudian berlanjut dengan kasus testimoni Komjen Susno Duadji soal penyidikan kasus pajak Rp 28 miliar dan berlanjut menjadi konflik internal Mabes Polri hingga akhirnya Gayus Tambunan menyerahkan diri.

"Kasus pajak itu sempat ditutup-tutupi, tapi tidak bisa dibendung dan akhirnya Kapolri mengambil sikap berbeda," papar Yudi.

Maka dari itu, sudah seharusnya Presiden SBY tidak terus mempertahankan Bambang Hendarso Danuri. Yudi khawatir program reformasi birokrasi dan membentuk pemerintahan bersih akan gagal akibat Polri yang merupakan salah satu pilarnya justru dipimpin oleh figur dengan rekam jejak bermasalah.

"Jadi posisinya Kapolri saat ini adalah antara mundur atau dicopot," pungkasnya.

(lh/ndr)