Kamis, 30 September 2010

haa iki Catatan Anton Sanjoyo

Jujur Dahulu, Prestasi Kemudian
Kamis, 30 September 2010 | 02:50 WIB
 
Anton Sanjoyo
Beberapa saat setelah tim sepak bola Indonesia dikalahkan Laos pada pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games 2009, saya bergurau dengan beberapa sahabat yang sama-sama prihatin. ”Sekarang kita sudah kalah lawan Laos. Besok, Indonesia kalah juga lawan Timor Leste!” Memang hanya gurauan, tapi juga ada kekhawatiran kuat, jangan-jangan Tim Merah-Putih sungguh sudah jadi anak bawang di kawasan Asia Tenggara.
Ternyata, kekhawatiran itu sungguh menjadi fakta. Pada perebutan posisi ketiga Kejuaraan Piala ASEAN di Solo, beberapa waktu lalu, tim Indonesia U-16 ditekuk Timor Leste, 0-2. Yang cukup mengejutkan, Pelatih Mundari Karya mengatakan, sejak U-14, Indonesia memang selalu kalah melawan negara yang baru ”kemarin sore” merdeka itu. ”Tapi tidak terekspos (media),” ujar Mundari.
Saya tidak tahu pasti, apakah pejabat-pejabat PSSI di Senayan ”ngeh” dengan situasi ini. Saya juga tak sepenuhnya yakin, apakah para pengurus PSSI yang mati-matian membela Nurdin Halid saat pelaksanaan Kongres Sepak Bola Nasional (KSN) di Malang, beberapa bulan lalu, paham dengan situasi ini. Saya juga ragu, apakah para pengurus PSSI yang sampai berteriak-teriak layaknya jagoan saat KSN berlangsung itu juga menyadari bahwa prestasi sepak bola Indonesia di bawah kepemimpinan Nurdin benar-benar sudah berada di dasar jurang. Yang saya tahu, sikap dan bahasa tubuh mereka layaknya jawara yang habis-habisan mempertahankan ”kekuasaan” di ranah sepak bola nasional.
Kembali pada pernyataan Mundari, jika benar sejak dua tahun lalu Indonesia sudah kalah melawan Timor Leste, lantas mengapa PSSI nyaris tak berbuat apa-apa, terutama pada level pembinaan usia dini? Untuk pertanyaan yang ini, saya pun tak pernah yakin apa jawabannya. Yang saya paham, PSSI lebih sibuk dengan urusan organisasi, bidding Piala Dunia 2022, dan jalan-jalan berjemaah ke Afrika Selatan nonton Piala Dunia.
Yang saya pahami pula, sejak lama sepak bola Indonesia memang penuh ketidakjujuran pada level pembinaan usia muda. Sudah menjadi rahasia umum, pada tahun 1980-an, Indonesia sering menyusupkan pemain-pemain yang usianya dipalsukan saat mengikuti kejuaraan tingkat yunior. Modusnya dengan memalsukan dokumen pribadi. Motifnya sangat jelas, para pengurusnya hanya mengejar target juara, atau prestasi internasional, meskipun harus mengorbankan sportivitas dan terutama kejujuran. Hasilnya memang terkadang ”bagus”. Indonesia tercatat beberapa kali menjuarai pelbagai turnamen yunior dengan pemain-pemain yang usianya dipalsukan.
Sejumlah nama yang dipalsukan usianya di level yunior kemudian kita ketahui juga menjadi tulang punggung tim nasional senior. Namun, alam memang punya kebijaksanaannya sendiri. Cemerlang karena memalsukan usia di kala remaja, kemudian tak mampu berbuat apa-apa bagi Merah-Putih saat menjadi pemain senior. Maka, tidak perlu heran, tim sepak bola Indonesia sering kali mencatat prestasi bagus saat masih yunior, tapi di tingkat senior kita bahkan tak lagi dipandang oleh negara- negara kawasan Asia Tenggara.
Jika tren ketidakjujuran dengan memalsukan usia asumsinya terjadi sejak 1980-an, kita pun kemudian paham mengapa prestasi sepak bola Indonesia di level internasional terpuruk sejak medio 1990-an. Sebab, bibit pemain-pemain yang berkompetisi di semua tingkatan adalah sumber daya yang penuh kepalsuan. Dengan sumber daya yang busuk, seluruh teori sepak bola, mulai dari pembinaan dan pelatihan, gizi, sampai teknik dan taktik, tidak pernah bisa diukur dengan akurat. Akibatnya, tidak seorang pun bisa membawa Indonesia berjaya lagi, bahkan sekadar di Asia Tenggara. Bahkan, Peter Withe, pelatih asal Inggris yang bolak-balik membawa Thailand juara, tak sanggup mendongkrak prestasi sepak bola kita.
Pekan lalu, Liga Kompas-Gramedia U-14, yang dicita-citakan tidak saja sebagai wadah kompetisi usia muda, tetapi juga sebagai sarana pembelajaran nilai-nilai kejujuran dan sportivitas, pun mendapat cobaan berat. Tim UMS yang punya tradisi mencetak pemain-pemain hebat negeri ini memakai cara-cara tidak terpuji saat mengikuti kompetisi. Pengasuh tim UMS secara sengaja memakai pemain tidak legal sehingga harus menerima sanksi kalah 0-3 pada laga pekan kelima yang dimulai selepas hari raya Idul Fitri.
Dalam kapasitas sebagai Ketua Komite Liga Kompas-Gramedia U-14, saya benar-benar sedih dengan kejadian ini. Terutama mengingat betapa polosnya anak-anak peserta liga, tapi harus diracuni oleh hal-hal yang sangat buruk: ketidakjujuran.
Oleh karena itu, kembali pada kekalahan Indonesia dari Timor Leste di level U-16, barangkali memang ada hikmah yang bisa diambil. Mudah- mudahan tim asuhan Mundari tersebut memang tidak diisi oleh pemain-pemain yang dipalsukan usianya sehingga para pembina di PSSI sekarang benar-benar tahu kualitas sesungguhnya dari tim sepak bola Indonesia. Dengan tahu keadaan sesungguhnya, pengurus PSSI sadar, dari mana harus melangkah untuk membenahi prestasi sepak bola nasional yang sudah terjerembab di dasar jurang. Mudah-mudahan dari momen yang pahit ini seluruh pemangku kepentingan sepak bola menyadari, hanya dengan kejujuran pada diri sendiri, kita akan mencapai prestasi tinggi.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/30/02505380/jujur.dahulu.prestasi.kemudian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar