Selasa, 14 September 2010

haa iki Cerita Tentang Perjuangan

Siswadi, Pejuang Radio Perang Urat Saraf
Selasa, 14 September 2010 | 03:48 WIB
KOMPAS/MAWAR KUSUMA- Siswadi
MAWAR KUSUMA WULAN
Hari Radio jatuh pada 11 September dan radio bagi Siswadi tak sekadar alat komunikasi, tetapi alat perjuangan. Dengan radio, ia bergerilya ke pedalaman Irian Barat saat Bung Karno menggelorakan operasi militer Tiga Komando Rakyat pembebasan Irian Barat. Ia berada di depan saat operasi militer Dua Komando Rakyat pada konfrontasi dengan Malaysia.
Panggilan wajib militer diterimanya tahun 1961 sesaat sebelum berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar komunikasi. Beasiswa di tangan dilepasnya. ”Untuk melancarkan perang urat saraf lewat radio, mental kami harus kuat,” katanya.
Bersama anggota wajib militer lain, ia memulai perjalanan dari Jakarta dengan kapal hingga ke Teluk Manado, lalu berganti kapal. Ia mengikuti gerakan infiltrasi ke Irian Barat melalui Laut Aru, November 1961.
Berbekal ransel berisi kotak transmiter aluminium, antena, baterai amplifier, mixer, dan kaset, Siswadi dan rekan satu tim menyisir pedalaman Irian Barat dengan berjalan kaki. Senapan, bekal 12 peluru, dan granat terikat di tubuhnya.
Sebanyak 15 orang yang terbagi dalam tiga tim ini menjalankan misi perjuangan membangun radio gelap The Voice of Free West Irian atau Swara Pembebasan Irian Barat. Tim sayap utara bergerilya lewat Biak, sayap tengah melalui Sorong, sedangkan Siswadi dan empat rekannya tergabung dalam tim sayap selatan lewat Laut Aru.
Dengan tubuh dicat solar tir untuk menghitamkan badan, Siswadi mengudara dengan bahasa Inggris dan Belanda. Dia membawa beberapa kaset lagu berbahasa Belanda agar tentara Belanda tertarik mendengarkan radio ini. Di sela lagu-lagu itulah, ia meneriakkan, ”Kibarkan bendera Merah Putih di Irian Barat” atau ”Hentikan negara boneka bentukan Belanda”.
Siaran radio terus berpindah-pindah, dari hutan sampai mendaki kawasan Pegunungan Jayawijaya. Tiap kali pancaran radio terdeteksi, Belanda segera berpatroli menggunakan pesawat tempur. Setelah membabat pepohonan, menara radio sengaja dibuat tak melebihi tinggi pohon atau sekitar 7 meter.
Berada jauh dari kota, Siswadi mulai terkena penyakit malaria. Tetapi, radio The Voice of Free West Irian tetap terpancar hingga ke luar negeri. Selanjutnya, PBB memprakarsai gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia serta penghentian perang gerilya. Setelah gencatan senjata diberlakukan pada 1962, misi radio gelap di Irian Barat dinyatakan selesai.
Batas Malaysia
Hati Siswadi sempat girang saat sebuah kapal perang menjemput dia dan rekan-rekan. Tanpa diketahuinya, kapal itu tak menuju Pulau Jawa, tetapi ke pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Setelah 12 hari perjalanan, dia diturunkan di Pulau Sambu sebelum dipindah ke Pulau Belakang Padang.
Setelah membangun menara pemancar radio setinggi 3-4 meter di Pulau Belakang Padang, Siswadi dan dua rekannya bersiaran dari kapal. Dengan pemancar generasi baru yang lebih kecil dan kuat, siaran radio ini bisa diterima hingga Malaysia, Singapura, Brunei, serta Sabah dan Serawak yang kala itu belum bergabung dengan Malaysia.
Kali ini Siswadi siaran dengan bahasa Melayu. Dengan suara lantang, dia bersiaran di Radio Perbatasan Melayu, ”Kerajaan Malaysia telah membidas (mengkritik) Indonesia. Kerajaan Indonesia dianggap sebagai kerajaan ekspansionis. Malaysia jangan membuat negara dengan membebek Inggris!”
Secara fisik, perjuangan di Irian Barat terasa lebih genting. Namun, Siswadi lebih tertekan secara mental ketika bersiaran di perbatasan Malaysia. Seorang rekannya bahkan ditembak tentara Inggris karena memotret kapal induk Inggris HMS Albion yang berpatroli di perbatasan.
Sekitar setahun kemudian, pada 1963, konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia berakhir. Siswadi pun ditarik pulang. Tahun 1965 ia kembali bertugas, kali ini guna membangun opini masyarakat agar tak berpihak kepada komunis. Dia membangun radio gelap di Blitar selatan, Jawa Timur.
Kala itu, pengikut komunis di Blitar selatan melancarkan pemberontakan setelah peristiwa G30S PKI. Berusaha mengabaikan ketakutan diculik kelompok komunis, Siswadi bersiaran dari sebuah rumah di daerah pedesaan. Melalui gelombang pendek atau SW1, siaran itu didengar rakyat yang mayoritas memiliki radio transistor.
Seusai wajib militer di Blitar pada 1967, ia menjadi Kepala Radio Brawijaya di Malang. Radio yang semula milik TNI itu, lalu menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Selanjutnya, Siswadi menjadi Kepala RRI di Semarang, Kepala RRI Surabaya, dan Kepala RRI Nusantara II Yogyakarta.
Gerakan kepanduan
Sebelum menjalani rangkaian wajib militer, Siswadi aktif dalam gerakan Kepanduan Bangsa Indonesia yang sempat dilarang Belanda. Dia lantas menjadi penyiar di RRI Surabaya, yang baru direbut dari Jepang (sebelumnya radio militer Jepang, Hoso Kyoku).
Dari sebelumnya dianggap sebagai pejuang radio gelap, Siswadi kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di Radio Nederlands Internasional Training Center, Belanda, tahun 1970. Selain itu, keinginannya untuk belajar di AS pun terwujud. Dia mendapat beasiswa belajar strategi komunikasi untuk satu semester dari International Communication Agency pada 1979.
Pengetahuannya yang luas di bidang komunikasi, terutama radio, membuat dia banyak diminta berbagi ilmu ke beberapa instansi baik di dalam maupun luar negeri. Sebagai Ketua Kelompok Kerja Kebudayaan dan Informasi sekaligus Direktur Direktorat Penerangan Rakyat Departemen Penerangan di Jakarta, Siswadi pun mengajar pelatihan komunikasi hingga ke Bangkok, Thailand, dan Jepang.
Meski telah pensiun, Siswadi tetap berjuang lewat radio. Kakek lima cucu ini masih aktif mengemukakan pemikirannya tentang berbagai persoalan bangsa dengan menjadi narasumber dialog interaktif di RRI Yogyakarta.
Peta Indonesia dan dunia menjadi hiasan utama dinding ruang tamu rumahnya. Ini sebagai simbol terus menyalanya kecintaan Siswadi kepada Tanah Air. Sekali di udara tetap di udara!
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/14/03484948/siswadi.pejuang.radio.perang.urat.saraf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar