Kamis, 16 September 2010

haa iki Mencontohlah pada Nadal.

KOLOM OLAHRAGA
Memahami Rafael Nadal
Kamis, 16 September 2010 | 04:19 WIB
Anton Sanjoyo
Sebagai penikmat tenis, saya tidak pernah menyembunyikan diri sebagai penggemar Rafael Nadal. Lama mengidolakan Pete Sampras, Nadal mewakili tipikal karakter lain yang membuat dunia tenis yang sudah semarak dengan pribadi-pribadi unik dan cemerlang semakin berwarna. Rivalitas indahnya dengan Roger Federer semakin membuat dunia tenis sangat kaya dengan drama dan gairah. Saya pun kagum kepada Federer, sang maestro yang selalu rendah hati, tetapi tak pernah menjadi fans-nya lebih karena perebut 16 gelar grand slam ini sudah terlalu hebat.
Hari Senin (13/9) di New York, Nadal menorehkan sejarah untuk pertama kalinya merebut gelar Grand Slam AS Terbuka. Gelar pertama, tetapi melengkapi delapan grand slam lainnya di Australia (1 gelar), Perancis (5), dan Wimbledon (2). Nadal menyejajarkan diri dengan enam legenda tenis sebagai petenis yang mampu komplet meraih semua grand slam atau karier grand slam. Namanya sejajar dengan Federer, Rod Laver, Andre Agassi, Roy Emerson, Don Budge, dan Fred Perry. Bahkan Sampras, pemegang 14 gelar, tak pernah menjadi juara di Roland Garros. Legenda lainnya, Ivan Lendl, misalnya, tak pernah juara Wimbledon.
Maka, kesuksesan Nadal di Flushing Meadows memang sebuah tonggak sejarah, sama seperti saat Federer menaklukkan Roland Garros tahun lalu.
Dilatih sejak dini oleh sang paman, Toni Nadal, di lapangan tanah liat (clay), Nadal tumbuh dan berkembang sebagai spesialis lapangan bepermukaan paling lambat ini. Sejak terjun ke dunia tenis profesional tahun 2001, Nadal dikenal sebagai spesialis lapangan tanah liat. Catatan prestasinya memang demikian karena ia merebut sembilan gelar pertamanya di tur pada lapangan yang paling membutuhkan ketahanan stamina ini.
Julukan ”Raja Tanah Liat” semakin tak bisa lepas dari pemuda kelahiran Manacor, Spanyol, 3 Juni 1986, ini sebab semua catatan terbaiknya terjadi di clay. Lima gelar Perancis Terbuka adalah catatan yang semakin mengukuhkan julukan tersebut.
John McEnroe, legenda tenis AS, pernah mengatakan, ada empat jenis petenis elite dunia. Yang pertama, spesialis tanah liat; kedua, spesialis lapangan rumput; ketiga, spesialis lapangan keras (hard court); dan keempat, Roger Federer! Sebenarnya, McEnroe hanya ingin menyatakan kekagumannya kepada Federer yang sungguh bertipe all court player meski baru tahun lalu merebut Perancis Terbuka. Bagaimana dengan Nadal? Dia pun layak menyandang predikat seperti Federer setelah menaklukkan Flushing Meadows, Wimbledon, dan Melbourne Park.
Sebenarnya, jika dicermati, Nadal sebagai pemain segala lapangan merupakan sebuah proses yang berjenjang dan terukur. Yang paling menarik adalah perjalanannya di Wimbledon. Dengan permukaan lapangan yang perbedaannya paling ekstrem dengan tanah liat, Nadal ikut pertama kali tahun 2003 dan hanya mencapai babak ketiga. Namun, perjalanan Nadal di All England Club terus menunjukkan grafik menanjak. Meski sempat turun pada 2005 dengan hanya mencapai babak kedua, selepas grand slam pertamanya di Perancis, Nadal seperti tak tertahankan untuk mendobrak hegemoni Federer di Wimbledon.
Nadal kemudian mencapai final Wimbledon pada 2006 dan 2007. Meski pada kedua kesempatan itu ia kalah melawan Federer, penampilannya terus meningkat. Pada 2008, melalui laga final epik paling dramatik dalam sejarah turnamen, Nadal merebut gelar pertamanya di lapangan rumput Wimbledon dengan mengalahkan Federer.
Dua ekstrem permukaan lapangan sudah ditaklukkan, Nadal kemudian melebarkan sayapnya ke lapangan keras (hard court). Di Melbourne Park, Nadal merebut gelarnya pada 2009, juga melalui laga penuh decak kagum melawan Federer. Sejak 2004, Nadal bertarung di sini dan level pencapaiannya terus meningkat, putaran ketiga (2004), putaran keempat (2005), perempat final (2007), dan semifinal (2008).
Predikat sebagai pemain segala lapangan kemudian baru sahih setelah Nadal menggulung Djokovic, Senin lalu di New York. Sama dengan Australia, grafik Nadal pada Grand Slam AS Terbuka pun cenderung menanjak.
Ini berarti, perjalanan Nadal sebagai petenis segala lapangan memang disiapkan secara khusus, dengan perencanaan matang oleh Toni. Sebagai ayah kedua, Toni tahu benar apa yang harus dilakukan keponakannya agar setiap penampilannya, terutama di grand slam, selalu meningkat.
Tahun 2009 merupakan titik balik dari seluruh pencapaian Nadal saat ini. Setelah gilang-gemilang pada periode 2008-Januari 2009 dengan merebut tiga grand slam, Nadal membabi buta saat persiapan mempertahankan gelar di Perancis. Ia tancap gas di semua turnamen pemanasan, terutama yang berkelas masters, sebelum kemudian tumbang oleh Federer di Madrid. Nadal kemudian kehilangan gelar Perancis di tangan Robin Soderling dan lantas mundur dari Wimbledon karena cedera lutut.
Toni sadar, Nadal terlalu memaksakan diri mengikuti tur sehingga tubuhnya tak kuasa menahan beban cedera. Rutinitas itu pula yang kemudian diyakini sebagai penyebab kegagalan Nadal di Flushing Meadows sebelum Senin kemarin. Tubuh Nadal sudah dalam kondisi sangat lelah saat menjalani grand slam tutup tahun itu.
Musim 2010, Toni memprogram Nadal dengan lebih bijak. Belajar dari pengalaman 2009, Nadal tidak harus ikut semua turnamen, kecuali turnamen wajib (mandatory). Beberapa turnamen dilompatinya, seperti Barcelona yang sebelumnya tak pernah dilewatkan. Nadal juga lebih selektif saat mengikuti turnamen pemanasan AS Terbuka. Nadal tidak mendorong dirinya terlalu keras di lapangan DecoTruf US Open Series dan hanya mencoba untuk memelihara kondisi fisiknya agar mencapai puncaknya di Flushing Meadows.
Di Stadion Arthur Ashe, selain memperlihatkan dominasi permainan atas Djokovic, Nadal juga memamerkan ketangguhan fisiknya. Djokovic sudah kehabisan stamina saat memasuki set keempat dan dihabisi tanpa ampun oleh Nadal yang datang ke New York dalam kondisi bugar.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/16/04192724/memahami.rafael.nadal

Tidak ada komentar:

Posting Komentar