Kamis, 30 September 2010

haa iki Tentang Administrasi Istana

Membangun Administrasi Istana
Kamis, 30 September 2010 | 03:09 WIB
 
 
Eko Prasojo
Istana Presiden diguncang kembali oleh persoalan administrasi negara. Keputusan Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji tidak sesuai dengan makna dalam ketentuan Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
Masa tugas jabatan Jaksa Agung Hendarman Supandji, menurut putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, berakhir tatkala Kabinet Indonesia Bersatu jilid I pada 20 Oktober 2009 berakhir.
Berbagai polemik oleh pakar hukum tata negara juga sudah dibahas, misalnya dalam tulisan Fajrul Falaakh (Kompas, 24/9) dan Refly Harun (Kompas, 25/9). Dalam tulisan ini penulis tidak akan berfokus pada polemik makna hukum tersebut, tetapi lebih menyoroti persoalan administrasi negara yang terjadi di lingkungan Istana terkait keputusan tersebut.

Daya laku dan daya ikat
Polemik masa jabatan jaksa agung sebenarnya tidak perlu terjadi jika daya dukung administrasi negara di Istana sangat kuat. Persoalan ini bukan yang pertama. Sebelumnya hal serupa terjadi dalam kasus rencana pengangkatan Anggito Abimanyu sebagai wakil menteri keuangan dan Fahmi Idris sebagai wakil menteri kesehatan.
Keduanya urung diangkat sebagai wakil menteri karena kepangkatannya belum memenuhi syarat. Padahal, mereka sudah sempat dipanggil oleh Presiden dan diminta kesediaannya untuk menandatangani Pakta Integritas sebagai wakil menteri.
Secara administratif, gagalnya kedua orang tersebut menjadi wakil menteri sebenarnya sudah bisa diantisipasi jika daya dukung administrasi negara di Istana sudah meneliti secara cermat sejak awal syarat-syarat administratif kedua calon menteri tersebut. Keputusan Presiden untuk menunda pelantikan Anggito dan Fahmi sebagai wakil menteri karena persoalan syarat administratif kepangkatan tidak saja secara pribadi mematahkan motivasi calon yang bersangkutan, tetapi juga menunjukkan ketidakcermatan sistem administrasi di lingkungan Kantor Presiden. Dalam perspektif yang lebih luas, hal ini akan mengganggu kepercayaan masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah.
Kasus yang sama terjadi saat ini dalam polemik masa jabatan jaksa agung. Kasus ini bisa dilihat dari dua perspektif, yaitu hukum tata negara dan hukum administrasi negara.
Dalam perspektif hukum tata negara, seperti telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi, jaksa agung bukanlah pejabat karier sehingga masa jabatannya mengikuti masa jabatan menteri sebagai para pembantu presiden. Meski demikian, harus diakui bahwa terhadap hal ini juga masih terdapat perbedaan di antara para pakar hukum tata negara.
Kelompok pertama menganggap bahwa masa jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung berakhir pada 20 Oktober 2009 saat berakhirnya masa jabatan para menteri.
Kelompok kedua berpendapat masa jabatan Jaksa Agung Hendarman akan berakhir pada tahun 2014 karena yang bersangkutan diangkat pada tahun 2007, masa pertengahan periode Kabinet Indonesia Bersatu.
Dalam perspektif hukum administrasi negara, masa jabatan jaksa agung dapat dilihat dari keputusan presiden tentang pengangkatan tersebut. Apa yang menjadi pokok persoalan dalam perspektif hukum administrasi negara dalam kasus ini adalah masa berlakunya (daya laku) dan masa mengikatnya (daya ikat) keputusan tersebut kepada Hendarman sebagai Jaksa Agung.
Daya laku merupakan masa keberlakuan suatu keputusan pejabat administrasi, sedangkan daya ikat merupakan batas waktu mengikatnya keputusan tersebut bagi subyek hukum yang disebutkan dalam keputusan. Dalam hal ini, kewenangan untuk menentukan daya laku dan daya ikat keputusan tentang masa jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung sepenuhnya berada di tangan Presiden.
Gugatan yang diajukan Yusril Ihza Mahendra di Mahkamah Konstitusi sebenarnya berkaitan dengan masa berlakunya dan mengikatnya keputusan presiden tentang jabatan Hendarman sebagai Jaksa Agung.
Sistem administrasi Istana seharusnya sudah dapat mendeteksi masa berlakunya dan mengikatnya jabatan jaksa agung sejak awal. Jika kemudian terjadi polemik atas masa jabatan tersebut, sistem administrasi sudah dapat secepatnya memperbaiki atau mencabut atau membatalkan atau menerbitkan keputusan presiden yang baru mengenai jabatan tersebut sehingga tidak harus menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi dan berlarut- larutnya ketidakjelasan status masa jabatan jaksa agung.
Artinya, persoalan masa jabatan jaksa agung sebenarnya dapat diselesaikan jika sistem administrasi Istana memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang hukum administrasi negara.

Penguasaan data
Kontroversi kewenangan yang dimiliki oleh Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung sebenarnya dengan mudah bisa diselesaikan jika sistem administrasi Istana memiliki data yang komprehensif dan jauh-jauh hari sudah mendeteksi kemungkinan terjadinya gugatan.
Caranya dengan menerbitkan keputusan presiden tentang pemberhentian dan pengangkatan jaksa agung. Keputusan presiden tersebut dapat mengakhiri ketidakjelasan dan polemik interpretasi masa jabatan jaksa agung berdasarkan Pasal 22 Ayat (1) Huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung.
Keterlambatan pembuatan Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Jaksa Agung ini sebenarnya cukup merugikan dan mengurangi konsentrasi pemerintah. Kerugian yang ditimbulkan tentu saja terkait dengan ketidakpercayaan masyarakat mengenai kredibilitas sistem administrasi di lingkungan Istana. Jika untuk perkara masa jabatan seorang pejabat negara saja tidak beres, bagaimana dengan persoalan-persoalan lain yang lebih besar. Kerugian kedua adalah hilangnya waktu dan konsentrasi pemerintah untuk melakukan hal-hal lain yang lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara.

Penguatan sistem Istana
Sebenarnya masalah kekacauan sistem administrasi yang terjadi di lingkungan Istana merupakan hal umum dalam sistem administrasi negara di Indonesia. Hal ini disebabkan masih banyaknya ketentuan hukum administrasi yang antara lain mengatur kewenangan pejabat, tanggung jawab jabatan, masa berlakunya dan mengikatnya keputusan pejabat. Asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam proses pembuatan keputusan dan terkait dengan diskresi seorang pejabat memang belum diatur secara baik.
Berbagai ketentuan sebenarnya sudah dimuat dalam Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) yang disiapkan sejak tahun 2004 dan telah dua kali dibahas dalam sidang kabinet. Sayang sekali RUU AP ini belum dapat dibahas oleh DPR sehingga belum ditetapkan menjadi undang-undang. RUU ini bisa memperkuat sistem administrasi negara di Indonesia, termasuk di lingkungan Istana.
Penguatan sistem administrasi negara di Istana harus segera dilakukan dengan berbagai upaya. Caranya antara lain dengan memperkuat daya dukung administrasi melalui peningkatan pengetahuan para pejabat administrasi di lingkungan Istana, terutama tentang hukum administrasi negara.
Karena setiap keputusan administrasi yang dibuat presiden berimplikasi, baik secara politik maupun secara hukum, maka sebelum dibuat suatu keputusan presiden harus dikaji secara teliti dan cermat dalam kacamata hukum administrasi negara. Hal ini untuk memastikan tidak adanya masalah terkait dengan kewenangan yang dimiliki presiden, tanggung jawab presiden, dan diskresi presiden atas suatu keputusan administrasi.
Di samping itu, pengkajian untuk memastikan bahwa asas-asas umum pemerintahan yang baik telah dipertimbangkan dan implikasi keputusan tersebut telah ditimbang dengan benar dan saksama. Untuk mencegah terjadinya kekacauan serupa di masa yang akan datang, tampaknya RUU AP mendesak dibahas dan ditetapkan menjadi undang-undang.
Eko Prasojo Guru Besar Ilmu Administrasi Negara; Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

1 komentar:


  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus