Selasa, 21 September 2010

haa iki Tentang Korupsi di Indonesia

Mimpi di Negeri Para Pencuri
Selasa, 21 September 2010 | 02:52 WIB
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Warga mengecapkan tangannya ke papan sebagai dukungan gerakan "2010 Tahun Tanpa Korupsi" di kawasan pejalan kaki Jalan Slamet Riyadi, Solo, Jawa Tengah, Jumat (1/1).
Indonesia adalah negeri para pencuri. Surga bagi koruptor. Menurut data peringkat negara terkorup Political and Economic Risk Consultancy yang berbasis di Hongkong, Maret lalu, Indonesia itu peringkat pertama dari 16 negara di Asia Tenggara yang disurvei. Artinya, Indonesia itu negara terkorup di Asia Tenggara!
Begitu parahnya korupsi di Indonesia hingga laporan Dana Moneter Internasional (IMF) yang diluncurkan pada hari Jumat (17/9) menyebutkan, apabila ingin membangun perekonomian dengan kinerja terbaik, Indonesia harus serius memprioritaskan pemberantasan korupsi. Tanpa itu, korupsi mengancam pembangunan ekonomi kita.
Lalu, bagaimana nasib pemberantasan korupsi di masa datang? Apakah mimpi Indonesia bebas korupsi hanya utopia?

Sudah akut 

Mahasiswa jurusan Akuntansi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Santa Ursula, Yunita Gautama, tidak yakin korupsi bisa hilang dari Indonesia. Baginya, mimpi Indonesia bebas korupsi adalah mustahil. ”Korupsi di Indonesia sudah terlalu akut,” tandasnya.
Penegakan hukum yang tidak tegas, menurut Yunita, adalah salah satu penyebabnya. Padahal, di negara lain, koruptor dihukum mati. Dia berharap koruptor di Indonesia mendapat perlakuan setimpal. ”Kalau perlu dihukum mati,” ujar Yunita.
Gusti Sheila Monica, mahasiswa jurusan Komunikasi, Universitas Indonesia, juga pesimistis korupsi bisa hilang. ”Selama materi masih menjadi ukuran kesuksesan hidup, selama itu pula hasrat memperkaya diri akan terus berlangsung. Selama itu pula korupsi akan terus ada,” ujar Moniq, panggilannya.
Padahal, perilaku korup itu tidak ada bedanya dengan pencuri. ”Mereka mengambil hak orang lain untuk memperkaya diri sendiri,” tutur Moniq.
Dia sepakat, penegakan hukum yang lemah membuat korupsi sulit diberantas. Pemerintah, menurut Moniq, tidak punya kontrol terhadap sanksi hukum yang diberikan kepada koruptor.
Dalam sebuah kesempatan, misalnya, secara tak sengaja Moniq bertemu seorang tersangka korupsi di acara pernikahan. ”Mengherankan, statusnya masih tahanan, tetapi dia bisa keluar tahanan menghadiri acara pernikahan,” tutur Moniq tak habis pikir.
Peristiwa itu menunjukkan betapa hukum tak mampu menyentuh koruptor. ”Hukum benar-benar tak bertaring di hadapan koruptor. Asal ada uang, semuanya beres,” katanya.

Pendidikan antikorupsi

Kita boleh saja cemas dengan posisi Indonesia yang menempati peringkat pertama negara terkorup di Asia Tenggara. Namun, kita juga berhak untuk tetap optimistis dan yakin.
Muhamad Handar dari Universitas Negeri Jakarta yakin korupsi bisa hilang dari bumi Indonesia. Menurutnya, yang dibutuhkan adalah pemimpin yang visioner dan cakap, tekad dan kemauan, serta usaha mengkritisi diri sendiri pada setiap diri individu.
M Fajar Shodiq Ramadlan, mahasiswa Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, juga optimistis korupsi bisa dihilangkan. Namun, harus diimbangi dengan kerasnya kemauan untuk menjadikan negeri ini bersih dan bebas korupsi.
Keyakinan seperti itu yang kita harapkan juga menjadi milik bersama. Apalagi kampus yang merupakan wadah bagi para calon pemimpin telah mempersiapkan amunisi dalam upaya memberantas korupsi.
Langkah ini dimulai tahun 2006. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menandatangani MOU dengan 60 perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia. MOU meliputi sosialisasi antikorupsi, pendidikan antikorupsi, penggunaan modul antikorupsi, dan kajian ilmiah mengenai pencegahan korupsi.
Realisasi dari MOU tersebut, antara lain, dengan menyelenggarakan mata kuliah Pendidikan Antikorupsi. Institut Teknologi Bogor (ITB) adalah salah satu kampus yang telah membuka mata kuliah Pendidikan Antikorupsi pada tahun 2009. Mata kuliah tersebut merupakan mata kuliah pilihan dengan beban 2 SKS.
Tak hanya itu, ITB juga membentuk Komisi Pendidikan Pencegahan Korupsi Kemahasiswaan (KPPK) yang salah satu program kerjanya mengampanyekan pencegahan korupsi di lingkungan mahasiswa.
Selain KPPK, ada SiMAK UNIMUS (Mahasiswa Anti- korupsi Mahasiswa Universitas Almuslim Nanggroe Aceh Darussalam) dan Gerakan Mahasiswa Padjadjaran Antikorupsi (Gampar) di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Koordinator Dewan Etik SiMAK UNIMUS, Nuruzzahri, menuturkan, sejak dibentuk tahun 2007, SiMAK telah mencetak 750 kader antikorupsi. Mereka yang menjadi kader, aktif terlibat dalam kegiatan preventif antikorupsi melalui pendidikan pada mahasiswa, pelajar, dan masyarakat.
”Gerakan yang dibangun di kampus ini sangat bermanfaat karena pejabat dan pemimpin lahir dari kampus. Kami optimistis, gerakan ini berkontribusi besar dalam upaya pemberantasan korupsi,” katanya.
  Untuk membuktikan komitmen mereka, ada sanksi tegas yang diterapkan bagi kader yang menjadi pelaku korupsi. Selain dipecat, mereka akan diproses secara hukum. ”Pokoknya agar korupsi hilang dari NAD dan Indonesia,” katanya.
Di luar itu semua, Nuruzzahri mengatakan bahwa akhlak dan moral yang bersih adalah kunci utama terhindar dari perilaku korup. Ini senada dengan ungkapan mantan Kepala Badan Kebijakan Fis- kal Kementerian Keuangan Anggito Abimanyu.
   Menurut dia, untuk melawan korupsi yang telah telanjur menggerus negara ini harus dibangun gerakan dan perlawanan dari kampus. Mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa harus kembali pada norma dan budaya yang jadi nilai-nilai bangsa.
”Mari kembali ke asal. Menjunjung tinggi kejujuran dan tidak mengambil yang bukan hak kita,” ujar Anggito.
Mudah-mudahan mimpi Indonesia bebas korupsi tidak jadi sekadar utopia. (DWI AS SETIANINGSIH)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/21/02520396/mimpi.di.negeri.para.pencuri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar