Jumat, 17 September 2010

haa iki Tentang Pengalaman WNA di Indonesia

Sepotong Perjalanan Zahidul Huque
Jumat, 17 September 2010 | 03:38 WIB
DOKUMENTASI UNFPA
Maria Hartiningsih

Dr Zahidul Huque duduk bersila di lantai lembab beralaskan plastik di ruang depan rumah kos di bilangan Harmoni, Jakarta. Ia mendengarkan keluhan Devi dan kawan-kawannya kelompok transjender, dikenal sebagai wanita-pria atau waria. Lulu (26) dari Srikandi Sejati, organisasi nonpemerintah dari, oleh, dan untuk waria, sebagai penerjemah.
Tak hanya sekali-dua, Kepala Perwakilan Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNFPA) untuk Indonesia itu mengunjungi kelompok-kelompok berisiko tertular dan menularkan infeksi menular seksual, baik karena persoalan seksualitas dan orientasi seksualnya maupun sebab lain, termasuk kemiskinan dan ketidaktahuan.
Selama bertugas di Indonesia sejak empat tahun lalu, Zahidul secara berkala pergi ke lapangan, khususnya ke wilayah kumuh dan padat. Mengunjungi klinik kesehatan reproduksi di berbagai pelosok dan sekolah yang punya prakarsa cerdas mengembangkan pendidikan kesehatan reproduksi adalah agenda wajib.
Ia mengunjungi mereka yang berada pada stadium akhir penyakit-penyakit oportunistik akibat hilangnya kekebalan tubuh oleh virus HIV/AIDS. Ia mendengar langsung praktik diskriminasi, termasuk dalam pelayanan kesehatan terhadap mereka yang dianggap ”liyan”. Ia memahami relasi kuasa yang timpang yang membuat posisi perempuan dan kesehatan reproduksinya dipertaruhkan.
Mitra setara
”Kita tak bisa bekerja hanya dengan membaca laporan, menandatanganinya, atau berdialog dengan orang-orang penting,” ujar Zahidul yang ditemui pada hari terakhir di kantornya di Jakarta, beberapa waktu lalu.
”Itu juga penting.” Ia melanjutkan, ”Tetapi yang lebih penting berbicara langsung, mendengarkan aspirasi, dan melihat kondisi sebenarnya mereka yang membutuhkan dukungan kita. Wilayah isu kita menyangkut keseharian hidup dan itu sangat emosional. Dengan demikian, kerja advokasi kita menjadi jauh lebih kuat.”
Zahidul meyakini, manusia, seberapa pun lemah posisinya dalam struktur sosial, senantiasa memiliki daya hidup. Berbagai program pemberdayaan membantu agar mereka mampu mengidentifikasi potensi, kekuatan, dan kelemahannya.
”Kemudian kita bekerja bersama membangun dan mengembangkan program atas dasar apa yang mereka temukan sebagai kebutuhan mereka. Yang memutuskan bukan kita di Jakarta. Jadi, ’sekadar tahu’ tak cukup.”
Informasi langsung dari bawah sangat dibutuhkan para pembuat kebijakan sebagai bagian dari mekanisme umpan balik. Suara mereka harus didengar dalam proses pengambilan keputusan dan penyusunan program.
”Kita harus mengubah pendekatan pada masa lalu dan memperlakukan penerima dukungan kami sebagai mitra setara.” Ia menyambung, ”Itu berarti kita harus mengembangkan strategi yang berbeda. Semua ini mengubah mindset kita, para kolega, dan pemerintah.”
Memulai karier sebagai dokter yang mengelola 10 klinik berbasis komunitas di pedesaan Banglades, ia paham benar, strategi itu tidak baru. Pada 1978, gerakan berbasis komunitas dalam program kesehatan dasar sudah dilakukan. Baru 30 tahun kemudian dihidupkan lagi karena diyakini hanya gerakan ini yang mampu membuat suatu program dukungan berkelanjutan.
Namun, ada hal yang lebih personal. ”Dengan menemui mereka, saya bisa merasakan perasaan mereka. Ini seperti perjalanan spiritual.”

Tragedi

Zahidul yang mempromosikan program kesehatan dan pengembangan masyarakat melalui pendekatan ”Desa Sehat” dan bergelut dengan isu kesehatan reproduksi di banyak negara menghadapi berbagai peristiwa menyentuh.
”Kelahiran anak seharusnya menjadi saat yang membahagiakan. Lalu, mengapa perempuan harus meninggal ketika melahirkan?”
Perempuan yang meninggal saat melahirkan itu kebanyakan miskin dan tak mendapat akses pelayanan kesehatan. Meski ada soal budaya dan alasan ideologis, ia juga melihat soal lain, seperti kurangnya tenaga kesehatan di pedesaan, pelayanan yang kurang ramah di rumah sakit, dan birokrasi yang berbelit.
Tragedi personal itu hampir tak pernah ditengarai sebagai persoalan sehingga kematian ibu sulit dibendung. ”Dengan komitmen dan kehendak politik yang kuat akan menjamin tak ada kehamilan tak dikehendaki, tak ada komplikasi yang terlambat dibawa ke rumah sakit, dan kematian ibu melahirkan menjadi nol.”
Ia punya banyak pengalaman terkait kematian ibu, di antaranya di Banglades, Mongolia, dan Sudan. ”Yang terburuk adalah ketika terjadi pendarahan hebat dan Anda tak punya mekanisme menghentikannya. Kalaupun diberi transfusi, semua sudah terlambat. Banyak kematian di rumah sakit disebabkan keterlambatan.”
Ia melanjutkan, ”Ketika tak bisa melakukan apa pun untuk membantu, ada perasaan pedih yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Ini sekaligus seperti tidak berharga karena Anda ingin menyelamatkan seseorang, tetapi tak bisa melakukannya karena sudah terlambat dibawa ke rumah sakit. Meski banyak juga kejadian di mana saya bisa menyelamatkan mereka. Mereka bahagia, saya juga bahagia.”
Tantangan
Ayah satu anak itu memahami perjalanan bangsa ini di bidang pembangunan dan kependudukan, yang sempat menjadi contoh banyak negara, termasuk Banglades. Menurut dia, Presiden Soeharto memiliki komitmen kuat dalam program Keluarga Berencana meski sangat terpusat, koersif, dan mengundang banyak kritik.
”Tetapi, ia membangun infrastruktur yang memang dibutuhkan negara yang secara geografis terdiri dari banyak pulau,” ujarnya.
Sayangnya, kondisi itu kini lemah. Setelah otonomi daerah, komitmen itu ada di tangan kepala daerah yang kepentingan politiknya berbeda-beda. Demokrasi belum dipahami secara substansial. Padahal, ada sekitar 17.000 pulau dengan kondisi sangat beragam dan kualitas pelayanan yang juga beragam.
”Kalau tantangan ini tidak dijawab, Indonesia akan sulit menurunkan angka kematian ibu,” ujarnya. ”Perhatian pada pendidikan dan kesehatan perempuan sangat penting untuk membangun kualitas hidup yang lebih baik,” ucapnya.
Di luar isu yang menjadi bidang perhatiannya, Zahidul terkesan pada ketekunan dan kesabaran masyarakat Indonesia meski kehidupan sungguh tak mudah. ”Ada kekerasan, tetapi kondisinya sangat berbeda dengan kekerasan di wilayah Asia Selatan.”
Di Ankara, Turki, tempatnya bertugas untuk empat tahun ke depan, ia akan menghadapi gambaran kekerasan yang berbeda; bagian perjalanan yang akan memperkaya pengalaman batinnya....

***
Zahidul Huque, MD, PhD

• Lahir: Banglades, 1 Juli 1954
• Pendidikan:
- MBBS (setara dokter atau MD di AS) dari Rajshashi Medical College, Banglades
- Master dan PhD dalam kesehatan masyarakat dari John Hopkins University, Baltimore, AS
• Karier: 1992 bergabung dengan UNFPA, bertugas di Mongolia, Sudan, Filipina, dan Indonesia
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2010/09/17/0338484/sepotong.perjalanan.zahidul.huque

Tidak ada komentar:

Posting Komentar