Jumat, 29 April 2011

haa iki Dari Citarum untuk Dunia...

Jumat, 29 April 2011

Dari Citarum untuk Dunia...

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO - Warga melintasi hamparan perkebunan teh di Kertasari, Bandung, Jawa Barat, tidak jauh dari hulu Sungai Citarum, Minggu (24/4). Teh dari Bandung Selatan ini terkenal hingga mancanegara.

Gregorius Magnus Finesso

Menyusuri lekukan lembah Sungai Citarum di Tatar Priangan, pandangan tak akan terlepas dari kebun teh yang menghampar bak permadani hijau raksasa. Di sela-selanya, lenggak-lenggok perempuan bercaping sigap memetik pucuk-pucuk daunnya seolah berkejaran dengan mentari.
Berawal dari tetes keringat merekalah daun itu diolah hingga citarasanya termasyhur di berbagai belahan benua. ”Saya mah sudah jadi tukang petik daun teh sejak kecil. Turun-temurun dari zaman nenek saya,” tutur Euis (31), pemetik daun teh di Kebun Teh Kertamanah, akhir Maret lalu.
Kendati penghasilannya tak bisa dibilang cukup, menjadi pemetik teh tetap dilakoninya. Euis rata-rata bisa memetik daun sebanyak 15 kilogram per hari yang dapat ia tukarkan dengan uang Rp 10.000 karena upak petik teh hanya Rp 625 per kg. Dengan demikian, dia berpenghasilan Rp 300.000 per bulan. Beruntung suaminya, Nasrudin (35), bekerja sebagai salah satu mandor kebun teh dengan bayaran Rp 600.000 per bulan.
Dengan pendidikan yang relatif rendah, hanya tamatan SD, kebun teh menjadi gantungan hidup bagi Euis dan ribuan warga di sekitar areal perkebunan. Dan itu tak membuat mereka mengeluh. Seolah kebun teh dan pemetiknya telah direkatkan ikatan sosial budaya dan ekonomi sejak baheula.
Tanaman teh memang menjadi salah satu kekhasan Bumi Priangan sejak lebih kurang 200 tahun lalu. Kontur geografis yang mirip dengan asalnya di daerah pegunungan Assam, India, China, Myanmar, dan Thailand membuat daun teh di wilayah ini punya citarasa tinggi. Di hulu Citarum, perkebunan teh terhampar mulai dari Kecamatan Pangalengan, Ciwidey, Cipeundeuy, Cikalong Wetan, Gambung, hingga Pasirjambu.

”Pangeran teh”
Berkembangnya perkebunan teh di Tatar Sunda tak lepas dari tangan dingin para ”pangeran teh” yang sejak 1840-an mengembangkan perkebunan teh di lereng-lereng pegunungan di Priangan, mulai dari Sukabumi hingga Garut. Para pengusaha itu, antara lain GIJ van der Hucht (1844), Karel Federik Holle (1865), Adriaan Walrafen Holle (1857), RE Kerkhoven (1873), dan KAR Bosscha (1896).
Para pengusaha swasta Belanda ini dimungkinkan membuka perkebunan teh selepas dihapusnya masa tanam paksa (cultuur stesel). Selanjutnya Pemerintah Belanda pada 1870 mengeluarkan Undang-Undang Agraria yang membuka kesempatan seluasnya bagi pemodal swasta di sektor perkebunan.
Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Teh Indonesia Atik Dharmadi, para pengusaha swasta itu berhasil memperbaiki sistem perkebunan teh di Priangan pascatanam paksa dengan sistem yang lebih modern. Keberhasilan tersebut membuat GIJ van der Hucht, Karel Federik Holle, Adriaan Walrafen Holle, RE Kerkhoven, dan KAR Bosscha dijuluki para pangeran kerajaan teh di Priangan (de thee jonkers van Preanger).
Merekalah yang ”babat alas” ribuan hektar hutan untuk digarap menjadi kebun teh. Tercatat, pada 1930, dari 286 perkebunan teh di Pulau Jawa, sebanyak 249 kebun di antaranya berada di wilayah Priangan. Sejak itu, teh hasil perkebunan di Priangan mulai diekspor ke berbagai negara di benua Eropa.

Pendorong kemajuan
Berkembangnya perkebunan teh tak hanya membawa berkah bagi masyarakat di hulu Citarum dengan menjadi pemetik teh, pekerja pabrik, ataupun penjaga kebun. Kondisi tatar Priangan pun maju pesat.
Hingga kini, perkebunan teh di Jawa Barat merupakan yang terbesar di Indonesia. Meski terus menyusut, luas areal perkebunan mencapai 97.138 hektar atau 70 persen dari luas areal perkebunan teh di Indonesia dan 50.137 hektar di antaranya adalah perkebunan teh rakyat. Sedangkan perkebunan negara seluas 25.899 hektar dan swasta 21.102 hektar.
Setiap tahun, produksi teh dari provinsi ini menyumbang sekitar 80 persen produksi teh nasional. Sekitar 42 persen produksi teh Jabar dihasilkan dari kabupaten yang berada di hulu Sungai Citarum ini.
Berdasarkan data Pusat Penelitian Teh dan Kina (PPTK) Gambung, Indonesia merupa- kan eksportir urutan kelima yang mengekspor rata-rata 98.500 ton teh per tahun senilai sekitar 130 juta dollar AS. Dari nilai tersebut, produk teh sekitar DAS Citarum menyumbang sekitar 30.000 ton senilai 38,33 juta dollar AS.
Menurut Kepala Bidang Penelitian PPTK Gambung Rohayati Suprihatini, 75 persen teh produksi Indonesia merupakan teh hitam, yang hampir 95 persen di antaranya untuk ekspor. ”Kualitas teh hitam dari Kabupaten Bandung adalah yang terbaik ketiga di dunia setelah Sri Lanka dan India,” tuturnya.
Meski demikian, banyaknya kebun teh dengan usia di atas 50 tahun membutuhkan penanaman kembali hingga revitalisasi. Data Dinas Perkebunan Jabar, sekitar 50.666 hektar kebun teh rakyat butuh revitalisasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi.
Selain peremajaan kebun, PT Perkebunan Nusantara XIII sebagai pengelola perkebunan negara kian fokus menangani industri hilirnya. Direktur Komoditi Teh PTPN XIII Agus Supriyadi menyebutkan, selain merek Walini yang kini jadi ikon produk teh di Bandung dan sekitarnya, pihaknya terus melakukan riset untuk mengembangkan teh premium dan siap saji.
Teh Walini sendiri merupakan olahan daun teh dari beberapa kebun PTPN XIII yang selama ini juga menyuplai banyak produk teh dunia, seperti Lipton dan Sara Lee.
Jadi, jika Anda menikmati secangkir teh di kafe ataupun di kamar hotel berbintang di London, Amsterdam, atau di Paris, jangan sampai salah memberikan sanjungan. Boleh jadi, teh bercitarasa tinggi itu dipetik dari kebun-kebun teh di lembah Sungai Citarum....
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/29/04383138/dari.citarum.untuk.dunia...
 

haa iki Ribuan Kantong Air di Hulu Citarum

Jumat, 29 April 2011

ALIH FUNGSI HUTAN

Ribuan Kantong Air di Hulu Citarum

Air niscaya bablas menuruni kemiringan lahan Kertasari, kawasan di hulu Sungai Citarum, di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang curam dan gundul. Namun, seribu lebih embung mengantongi dan menyimpan air, menjadi sebagian sumber penghidupan warganya.
Kertasari krusial sebagai daerah tangkapan air. Berada di kaki Gunung Wayang, kawasan Kertasari menjadi titik nol kilometer Sungai Citarum dengan tujuh mata airnya, yakni Pangsiraman, Cikoleberes, Cikawedukan, Cikahuripan, Cisadane, Cihaniwung, dan Cisanti. Air dari ketujuh sumber tertampung di Situ Cisanti, lalu mengalir ke hilir Sungai Citarum.
Kertasari idealnya hijau dan rimbun oleh tanaman keras. Namun, perambahan lahan telah mendorong alih fungsi hutan dan perkebunan di kawasan itu menjadi ladang sayuran. Kini, 1.053 hektar lahan eks perkebunan kina telah berubah menjadi ladang sayuran. Sebagian ladang berada di kemiringan lahan lebih dari 50 derajat dan tanpa terasering!
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Tarumajaya Agus Derajat menyebutkan, dari sekitar 15.000 hektar luas Kecamatan Kertasari, hanya 1.000 hektar atau 0,6 persen di antaranya yang dimiliki warga yang jumlahnya 66.000 jiwa. Sisanya lahan perkebunan dan hutan milik negara yang dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII dan Perum Perhutani.
Tekanan kebutuhan hidup mendorong warga menanam komoditas yang lebih menguntungkan. Menurut Agus, awalnya ada sekitar 2.500 pohon kina di setiap satu hektar kebun, namun kini tinggal 10-15 persen saja. Upaya pemerintah, terutama Perhutani, mengajak beralih ke komoditas yang lebih ramah lingkungan, seperti kopi, belum mampu menggerakkan masyarakat.
Akibatnya, lanjut Agus, belum semua kawasan hutan sudah bebas dari perambahan. ”Semua butuh waktu untuk mengajak para petani berhenti bertanam sayuran di hutan,” katanya.
Dalam kondisi gundul, air meluncur menuruni lahan dan menggerus tanah hingga ke badan sungai. Sedimentasi bukan perkara remeh karena endapan terbawa hingga ke Waduk Saguling. Pemerintah terpaksa menganggarkan Rp 200 miliar untuk mengeruk Citarum.
Tahun 2003, Masyarakat Peduli Sumber Air (MPSA) menginisiasi pembuatan embung dengan mengampanyekan kearifan tradisional terkait penataan ruang berbasis topografi, yakni gunung kaian, gawir awian, lebak caian, legok balongan (gunung dihutankan, tebing ditanami bambu, tempat rendah untuk menyimpan air, cekungan untuk kolam). Bermula di Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, embung-embung baru dibangun di kampung lain di Desa Tarumajaya, Cibeureum, dan Sukapura.
Menurut Ketua MPSA Dede Juhari, selama tahun 2003 hingga 2005, sebanyak 1.847 embung terbangun di kawasan Kertasari. Air yang tertampung di kawasan itu mencapai 923.500 meter kubik.
Penghijauan Kertasari terus berpacu dengan laju perusakan yang ditimbulkan oleh perladangan. Di tengah usaha menyelamatkan daerah tangkapan air itu, warga mengandalkan seribu embung untuk menopang kehidupan mereka. Setidaknya dari sana masyarakat bisa memahami manfaat menyimpan air di tanah. (M Kurniawan dan Didit Putra)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/29/0439062/ribuan.kantong.air.di.hulu.citarum
 

haa iki ”Kami ingin melihat pemerintah bekerja sungguh-sungguh untuk menanggulangi banjir. Sampai sekarang keseriusan itu belum terlihat,”

Jumat, 29 April 2011

MENJAGA NUSANTARA

Menolak Pasrah pada Banjir

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO - Warga menyeberangi genangan banjir yang merendam Jalan Anggadiredja, Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, akibat luapan Sungai Citarum, Rabu (27/4). Ribuan rumah warga di Kecamatan Dayeuhkolot dan Baleendah terendam banjir setelah sehari sebelumnya terjadi hujan yang cukup deras di daerah hulu sungai tersebut.

Didit Putra erlangga dan Rini Kustiasih
Setiap kali hujan, warga Kampung Cieunteung, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, senantiasa waswas. Banjir besar bisa saja menerjang kampung mereka. Sekalipun sudah terlatih menghadapi banjir dan terbiasa selalu siaga, warga kampung itu juga berupaya memperkecil risiko banjir.
Kampung yang berbatasan dengan Sungai Citarum itu menjadi langganan banjir karena lokasinya yang berada di kawasan limpasan air. Menurut data dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum, Cieunteung termasuk dalam 1.000 hektar daerah yang tidak pernah bebas banjir. Alasannya, daerah itu secara alami merupakan kawasan limpasan air. Kontur tanah Cieunteung lebih rendah dari bibir sungai.
Tinggi genangan yang bisa ditampung sungai menurut desain proyek normalisasi oleh BBWS adalah 659,3 meter di atas permukaan laut (mdpl). Adapun Kampung Cieunteung berada pada ketinggian 658 mdpl. Artinya, saat muka air Sungai Citarum mencapai titik teratas, Cieunteung sudah bisa dipastikan terendam 1,3 meter.
Sedimentasi yang parah menimbulkan pendangkalan Citarum. Akibatnya, daya tampung sungai kian berkurang. Kedalaman Citarum di sekitar Baleendah dan Dayeuhkolot dulu bisa mencapai 10 meter. Kini, kedalaman sungai itu diperkirakan hanya empat meter. Kondisi itu membuat Citarum di daerah ini cepat meluap ke permukiman warga.
Sementara belum ada kepastian penanganan banjir oleh pemerintah, warga Cieunteung tidak tinggal diam. Mereka berupaya memperkecil risiko banjir dengan membangun tanggul secara swadaya. Tanggul beton sepanjang 500 meter yang membatasi sungai dengan permukiman warga dibangun atas bantuan sebuah perusahaan tekstil yang ada di kampung tersebut. Pembangunan rampung pada tahun 2009. Biayanya mencapai Rp 100 juta.
Kendati demikian, beton setinggi dua meter itu belum cukup untuk menahan limpasan air. Kerusakan lingkungan yang parah membuat banjir tetap terjadi. Upaya selanjutnya adalah penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. ”Warga diimbau tidak lagi membuang sampah ke dalam sungai,” kata Jaja (43), Ketua RW 20 Kampung Cieunteung.

Larangan buang sampah
Kini, saluran air Cigado di kampung itu kondisinya jauh lebih baik dibandingkan dengan setahun lalu. Saluran itu, sekalipun masih berwarna hitam pekat karena limbah pabrik, kini mulai bersih dari tumpukan sampah. Warga setiap pekannya bekerja bakti membersihkan sampah. ”Kadang masih ditemui sampah di dalam saluran, tetapi itu bukan dari warga Cieunteung. Kemungkinan dari kampung lain sebab saluran ini juga melintasi beberapa kampung di Baleendah,” ungkap Jaja.
Sekitar 300 warga yang tinggal di kampung itu pun secara mandiri membangun rumah berbentuk panggung. Beberapa warga yang berkemampuan bahkan membangun rumah bertingkat dengan beton yang cukup mewah. Masjid di kampung juga dibuat bertingkat. Saat banjir besar, masjid digunakan oleh warga sebagai tempat pengungsian. Adapun warga yang memiliki loteng cenderung bertahan di rumah masing-masing.
Pada banjir besar awal 2010, Pemerintah Kabupaten Bandung menjanjikan warga untuk dibuatkan rumah singgah berbentuk panggung. Rumah itu dimaksudkan sebagai lokasi pengungsian dan persinggahan warga sementara saat banjir tiba. Namun, hingga kini janji itu tidak kunjung direalisasikan.
Belajar dari pengalaman banjir besar pada awal 2010, pimpinan kampung kini melarang warga menempati bantaran sungai. Biasanya, warga yang tinggal di bantaran sungai adalah pendatang. Bahkan, di musim kemarau, saat air surut, di bantaran sungai banyak ditemui rumah nonpermanen dari bambu. Rumah-rumah itu dibangun tepat di bibir sungai. ”Jika mereka tetap memaksa membangun rumah liar di bantaran, warga bisa marah. Sebab, bangunan itu turut menyumbang datangnya banjir,” ungkap Jaja.
Untuk keperluan evakuasi, warga Cieunteung memiliki tim khusus yang digerakkan pimpinan kampung. Tim ”evakuasi” swadaya itu memang tidak diberi nama khusus, tetapi warga sudah tahu siapa saja yang terlibat dalam tim itu. Sedikitnya 20 orang yang bertugas menjadi tim evakuasi. Tugas mereka adalah mengoperasikan perahu untuk penyelamatan warga yang terjebak, penyaluran bantuan, dan penjagaan keamanan. Saat ini, warga memiliki lima perahu kayu yang siap mengangkut warga saat banjir.

Dilema relokasi
Sekalipun warga sudah berupaya memperkecil risiko banjir dan siaga menyelamatkan diri sendiri, banjir tetap tak terhindarkan. Lokasi kampung sebagai daerah limpasan air membuat warga tak akan pernah terbebas dari banjir. Wacana relokasi pun mengemuka.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengatakan, relokasi kampung adalah salah satu solusi untuk menghindarkan warga dari banjir. Namun, diakuinya, program itu memerlukan biaya besar. Selain itu, relokasi rentan memunculkan konflik sosial lantaran warga sudah terbiasa tinggal di sana dan bekerja di daerah sekitar kampung. Warga menginginkan pengerukan Citarum, bukan relokasi.
Yani Quraisin (47), warga Cieunteung, mengatakan, dirinya tidak keberatan tinggal di kampung itu. Pindah dari sana bukanlah pilihan yang bisa dipertimbangkan. Ia lebih memikirkan bagaimana setiap hari harus bergulat dengan keterbatasan uang agar dapur tetap mengepul. Hidup dengan banjir pun menjadi jalan yang tersedia. Biaya hunian di daerah itu relatif murah.
Hal senada diungkapkan Cucu Rohayati (48). Ia yang setiap hari mendapatkan Rp 10.000 dengan membungkus kue cokelat mengaku kerasan tinggal di sana. Ia tinggal di sebuah kamar kos yang ditebus dengan sewa Rp 150.000 per bulan. Cucu memilih bertahan di Cieunteung karena tidak ada lagi pekerjaan yang bisa dilakukan.
Pemerintah pun mengupayakan pembangunan rumah susun (rusun) bagi warga korban banjir. Rusun yang sudah 80 persen rampung itu adalah hibah dari Kementerian Perumahan Rakyat. Harga sewa yang dipatok Rp 150.000 per bulan, dan ternyata kurang disambut warga.
Menurut Kepala Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat Daddi Mulyadi, tahun 2011 ini pemerintah memulai proyek untuk mengeruk sedimen di badan sungai yang bakal memakan waktu tiga tahun. Pengerukan sungai sepanjang 30 kilometer ini diperkirakan memakan biaya Rp 300 miliar yang berasal dari pinjaman luar negeri. ”Namun, semua bakal sia-sia apabila kerusakan di hulu tidak dicegah, sedimen akan kembali lagi memenuhi sungai di hilir,” katanya.
Jaja mengharapkan penyelesaian banjir Cieunteung dilakukan secara komprehensif. Karena persoalan banjir sesungguhnya bermula dari hulu sehingga kawasan itu pun harus mendapatkan perhatian lebih dulu. ”Kami ingin melihat pemerintah bekerja sungguh-sungguh untuk menanggulangi banjir. Sampai sekarang keseriusan itu belum terlihat,” tegas Jaja.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/29/03420978/menolak.pasrah.pada.banjir
 

haa iki Batuan Purba Penahan Erosi

Jumat, 29 April 2011

Batuan Purba Penahan Erosi

Rini Kustiasih dan Dedi Muhtadi

Sabtu (9/4) pukul 08.00, Mang Jumar (62) sudah turun ke Sungai Citarum untuk mengambil botol-botol plastik yang tersangkut di batuan air terjun Curug Jompong. Lebih dari 20 tahun pekerjaan itu dilakoninya. Setiap hari, dari botol-botol plastik bekas minuman ringan tersebut, ia meraih pendapatan sekitar Rp 10.000.
Hanya berdua dengan tetangganya, Isur (35), Jumar mengais rezeki di air jeram yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, itu. Pasalnya, tak banyak orang yang mau berdiam lama di tempat yang berbau menyengat akibat berbagai limbah, kotor, sepi, dan terkesan angker tersebut.
Biasanya mayat yang terdampar di Curug Jompong dalam kondisi rusak dan bau karena jatuh terbawa air dan tersangkut di batu. ”Jika melihat mayat, sebagian warga di pinggir Citarum hanya menonton dari jauh karena takut dimintai tolong mengangkatnya,” ungkap Jumar seraya menunjuk air terjun setinggi 10 meter yang jatuh ke batuan di bawahnya.
Untuk mencapai air terjun ini, dari jalan desa harus menuruni tebing yang hampir tegak sejauh 500 meter. Jalan setapak yang dibuat Jumar dipenuhi ilalang sehingga pejalan kaki tak mudah melewatinya jika tak membabat lebih dahulu.
Sebelum sampai ke Curug Jompong, alur Citarum sepanjang 30 kilometer dari sentra industri Dayeuhkolot, Bandung, relatif datar. Aliran Citarum baru bergerak liar setelah berputar dan jatuh menjadi air terjun di Curug Jompong. Sejak menjadi kuncen di Curug Jompong 20 tahun lalu, Jumar sudah mengangkat 25 mayat, termasuk mayat mahasiswi yang dibuang di sungai itu beberapa tahun lalu.
Batuan purba di Curug Jompong itu terbentuk dari batuan dasit 4 juta tahun lalu. Letaknya di perbatasan Kabupaten Bandung dan Bandung Barat. Batuan dari gerakan magma itu muncul ke permukaan bumi, tetapi tidak meledak karena energinya lemah.
”Ribuan tahun lalu Citarum purba terbentuk dari letusan Gunung Sunda yang dahsyat, lalu membentuk Danau Bandung Purba,” ujar T Bachtiar, ahli geografi yang juga anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.
Batuan purba ini hampir menutup lebar sungai dengan permukaan yang berundak-undak. Beberapa benjolannya menjulang 5-20 meter di Sungai Citarum sehingga aliran air ada yang berbelok sebelum terjun ke bawah. Saat kemarau, hampir semua batuan itu tampak dan air mengalir di sela-sela batu. Namun, pada musim hujan semua batu itu tertutupi aliran air Sungai Citarum.

Penahan erosi
Pada masa kolonial, Pemerintah Hindia Belanda menjadikan lokasi ini sebagai tujuan wisata. Itu tertulis dalam buku panduan wisata tahun 1927, Gids van Bandoeng en Midden-Priangan, door SA Reistma e WH Hoogland. Namun, puluhan tahun kemudian, tempat itu berubah jadi angker dan jarang dikunjungi.
Kini, aliran air sungai ke Curug Jompong berwarna coklat dan berminyak. Warna dan aroma itu berubah-ubah sesuai pabrik tekstil itu tengah mencelup kain warna apa.
Beberapa waktu terakhir, jeram di bagian tengah Citarum itu mengundang perdebatan banyak pihak. Sejumlah ahli ingin batuan purba itu dipapras untuk mengurangi genangan banjir di kawasan Baleendah dan Dayeuhkolot. Pendapat lain menilai pemaprasan hanya akan menyia-nyiakan peninggalan geologis Bandung Purba.
Wacana pemaprasan itu kini kandas setelah Gubernur Jabar Ahmad Heryawan menegaskan tidak akan ”mengutak-atik” Curug Jompong.
Bachtiar memprediksi, setiap tahun ada sekitar 4 juta meter kubik lumpur akibat erosi melintasi curug. Sebagian sedimen itu tersangkut di dasar batu. Sisanya, dengan volume lebih besar, masuk ke Waduk Saguling.
”Curug Jompong adalah filter alam bagi sedimentasi di Citarum sekalipun kemampuan itu terbatas. Curug itu juga mencegah erosi,” kata penulis buku Bandung Purba itu.
Dengan morfologi itu, aliran air yang melewati rangkaian batu tersebut akan beriak dan terjun bebas ke bawah, membentuk air terjun kecil yang deras. Warga sekitar menyebut rangkaian batu itu curug (Sunda) yang berarti ’air terjun’.
Curug Jompong terbentuk dari sisa lava gunung api sekitar 4 juta tahun lalu. Dalam buku Bandung Purba, Bachtiar menyebutkan, rangkaian gunung api berbatu keras itu membentang dari Gunung Puncaksalam, Pasir Kamuning, Pasir Kalapa, Gunung Lalakon, Pasir Malang, Gunung Selacau, Gunung Lagadar, Gunung Padakasih, Gunung Jatinunggal, sampai Gunung Bohong di selatan Cimahi. Rangkaian gunung itu disebut Bachtiar sebagai Pematang Tengah karena membatasi Danau Bandung timur dan barat.
Sisa-sisa ”kegagahan” Pematang Tengah masih terlihat hingga kini di Curug Jompong. Batu-batu raksasa mengelilingi tepian sungai seperti mangkuk yang jebol pada sebagian sisinya, air pun meluber jatuh. Jadi, tidak keliru jika Curug Jompong patut diselamatkan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/29/02304688/batuan.purba.penahan.erosi
 

Kamis, 28 April 2011

haa iki Majalaya, Seabad Geliat Tekstil Rakyat

Kamis, 28 April 2011

Majalaya, Seabad Geliat Tekstil Rakyat

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO - Kesibukan pekerja pabrik tekstil CV Sandang Makmur di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 22 Maret lalu. Kini, hasil produksi tekstil setempat itu terpaksa memasuki masa suram karena gempuran produk tekstil dari China.
 Gregorius Magnus Finesso

Memasuki daerah Majalaya di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, sejauh mata memandang hanya tampak tembok pabrik-pabrik kusam berlumut, bekas endapan lumpur banjir. Udara kotor berdebu menyelimuti jalan-jalan sempit yang banyak berlubang.
Semrawut lalu lalang dokar menggantikan geliat kawasan yang pernah menyandang julukan ”Kota Dollar” karena kiprah industri tekstil rakyatnya itu.
Matahari di atas Alun-alun Majalaya belum terlalu terik kala Didin (27) beristirahat di bangku dokar miliknya, Kamis (24/3). Sebagai penarik dokar, paras pemuda itu kelewat bersih. Celana jins dan sandal bermerek. Lebih mirip anak kuliahan.
”Saya beli dokar ini dua tahun lalu seharga Rp 1,5 juta. Saat itu Bapak beli lima dokar, empat yang lain disewakan kepada tetangga. Saya yang disuruh mengurus setoran hariannya,” tutur anak juragan dokar di Daerah Aliran Sungai Citarum itu.
Lima dokar itu dibeli dengan uang hasil penjualan mesin tenun kuno merek Suzuki yang diwariskan kakeknya. Awalnya, Misbun, ayah Didin, adalah seorang perajin tekstil rakyat yang memiliki tiga mesin tekstil buatan Jepang. Saat krisis ekonomi tahun 1999, satu per satu mesin dijual untuk modal usaha.
Didin mengaku sempat diajari ayahnya mengoperasikan mesin tenun. Namun, pada akhirnya ia lebih memilih menjadi juragan dokar karena melihat peluang usaha tekstil rakyat kian redup.
”Kalau bosan di rumah, saya baru narik dokar. Lumayan, sehari dapat Rp 50.000. Usaha tenun sekarang, kata Bapak, modalnya besar, tetapi untungnya belum tentu,” ujarnya polos.
Penjualan mesin tenun bekas di Majalaya bukan hal baru. Deden Suwega (47), pemilik CV Sandang Makmur, mengakui, banyak keturunan pengusaha tekstil gagal bertahan, lalu beralih menjadi juragan dokar, pedagang pasar, dan petani.
”Banyak mesin tekstil tua dijual di pasar. Bahkan ada yang dijual kiloan. Miris kalau saya melihat mesin-mesin itu teronggok di pasar loak. Padahal, Majalaya berutang besar pada mesin-mesin tua itu,” kata generasi ketiga ahli waris salah satu usaha tekstil rakyat di Majalaya itu.

”Kota Dollar”
Deden ingat betul kisah kejayaan industri tekstil pada 1960-an saat Majalaya dijuluki ”Kota Dollar”. Pemenuhan bahan baku tenun dan keperluan harian saat itu sangat mudah. Begitu keluar rumah, sudah banyak penjual mengantre layaknya semut merubung gula.
Tidak dimungkiri, Majalaya adalah cikal bakal industri tekstil modern di Indonesia. Walau perkembangannya baru terasa pada 1930-an, dipelopori pengusaha tekstil lokal, seperti Ondjo Argadinata dan Abdulgani, geliatnya telah dimulai pada 1910.
Saat itu ada perempuan yang menekuni alat tenun kentreung atau gedhogan dengan bahan baku kapas dan pewarna dari kebun. Namun, skalanya masih sangat terbatas dan hanya dipakai rumah tangga.
Pada 1921 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Textile Inrichting Bandoeng yang kelak bernama Sekolah Tinggi Tekstil Bandung. Pada 1928, empat gadis asal Majalaya dikirim ke Bandung untuk belajar tenun menggunakan alat tenun semiotomatis yang tidak membutuhkan listrik, disebut alat tenun bukan mesin (ATBM). Mereka kelak mewariskan teknik tenun dan membangun dinasti usaha tekstil rakyat Majalaya.
Pasca-kemerdekaan, Majalaya berkembang jadi pusat tekstil nasional. Akhir 1964, Majalaya menguasai 25 persen dari 12.882 alat tenun mesin di Jabar.
Gegap gempita tekstil rakyat mulai meredup pada 1980-an dengan masuknya kekuatan finansial pemodal luar dengan mendirikan pabrik di Majalaya. Ketidakmampuan industri tekstil lokal merestrukturisasi mesin yang lebih efisien ikut menurunkan daya saing. Perlahan, industri tekstil rakyat tersisih.
Pengusaha tekstil Majalaya, Satja Natapura, menyebutkan, sebelum krisis ekonomi tahun 1998, jumlah industri rakyat di Majalaya sekitar 250 unit. Seusai krisis tersisa 130 unit dan kini hanya 100 unit. Kini industri itu hanya bertahan dengan ceruk pasar yang kian sempit.

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/28/02345557/majalaya.seabad.geliat.tekstil.rakyat
 

Rabu, 27 April 2011

haa iki "Emas Putih" di Bandung Selatan

Rabu, 27 April 2011

"Emas Putih" di Bandung Selatan


KOMPAS/LUCKY PRANSISKA - Peternak memerah susu di Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 21 Maret lalu. Seekor sapi menghasilkan 15-20 liter susu per hari yang dihargai Rp 2.800-Rp 3.000 per liter oleh Koperasi Peternak Bandung Selatan.

Gregorius M Finesso dan Didit Putra

Senin (21/3) sore di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, di lereng Gunung Wayang, Jawa Barat. Sejumlah mojang berbalut baju rajut asyik menenteng milk can, wadah susu berwarna perak dari baja tahan karat, menuju ke unit koperasi penampungan susu segar.
Tawa kecil mereka menghangatkan hawa dingin yang kian menusuk tulang. Suasana bersahaja itu saban hari terlihat di Desa Tarumajaya, dekat Situ Cisanti, hulu Sungai Citarum, Jawa Barat. Gambaran khas desa peternakan sapi perah yang merupakan salah satu mata pencarian utama masyarakat pegunungan di Bandung selatan.
Bagi peternak, sapi perah merupakan tumpuan hidup. Untuk itu, semua anggota keluarga terlibat di dalamnya. ”Biasanya yang mencari pakan rumput kakak laki-laki saya. Kalau bapak membersihkan kandang dan memberi pakan, sedangkan ibu memerah susu. Saya yang mengantarkan susu ke koperasi setiap pagi dan sore,” tutur Oneng (15), perempuan anak peternak sapi di Desa Tarumajaya.
Aceng (60) yang telah sekitar 20 tahun menggantungkan hidup pada penjualan ”emas putih” mengatakan, modal beternak sapi perah cukup banyak. Harga seekor sapi perah kualitas super yang dapat menghasilkan 20 liter susu per hari, misalnya, mencapai Rp 12 juta.
Mantan pegawai perkebunan kina di Kertasari itu semula hanya memiliki dua sapi yang dibelinya pada 1990 seharga Rp 10 juta. Dari ketekunannya, ia kini memiliki delapan sapi dan 2 hektar sawah serta mendirikan sekolah mengaji di dekat rumahnya. Bahkan, ia bisa naik haji dari beternak sapi perah.
Untuk mendapatkan ternak sehat, ia selalu memerhatikan pakan dan kebersihan kandang. Pakan sapi lazimnya berupa campuran konsentrat dan rumput. Biaya pemeliharaan delapan sapi, menurut dia, sekitar Rp 240.000 per hari. Adapun harga susu pada koperasi Rp 3.000-Rp 3.300 per liter sesuai dengan kualitas.
Jika seekor sapi bisa menghasilkan 14 liter per hari, berarti diproduksi 112 liter. Dengan asumsi harga susu Rp 3.100 per liter, penghasilan kotor Aceng mencapai Rp 347.200. Dikurangi biaya pemeliharaan dan potongan koperasi, ia meraih penghasilan bersih Rp 100.000 per hari atau Rp 3 juta per bulan.
”Asal tekun, dari beternak sapi bisa menabung. Kalau ada peternak, tetapi enggak berkembang, biasanya karena malas memelihara pedet (anakan sapi). Padahal, pelihara pedet sama dengan berinvestasi,” tuturnya.

Sapi unggul
Sejak zaman pendudukan Belanda, Bandung selatan sudah menjadi sentra peternakan sapi perah. Haryoto Kunto dalam Wajah Bandoeng Tempo Doeloe (1984) menyebutkan, sejak awal tahun 1800-an, sapi-sapi impor jenis unggul mulai didatangkan dari Friesland, ”negeri leluhur” sapi perah di Belanda.
Di Pangalengan, peternakan saat itu dikelola perusahaan Belanda, De Friesche Terp, Almanak, Van Der Els, dan Big Man. Susu ditampung dan dipasarkan Bandoengsche Melk Centrale (BMC) yang kini masih berdiri di Kota Bandung. Begitu banyaknya sapi bibit unggul dari Friesland yang diternakkan di Pangalengan, daerah ini lalu disebut ”Friesland in Indie” atau Friesland-nya Indonesia.
Seusai penjajahan Jepang, para peternak Pangalengan mendirikan koperasi pertama pada 1949 dengan nama Gabungan Petani Peternak Sapi Indonesia Pangalengan (Gappsip). Pada 1961 Gappsip tak mampu menghadapi labilnya perekonomian dan tata niaga susu dari tengkulak.
Saat itulah Daman Danuwidjaja (alm) dan beberapa tokoh masyarakat Pangalengan mendirikan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Pembangunan instalasi milk treatment mampu menangkal ulah tengkulak. KPBS pun berkembang pesat dengan jumlah karyawan saat ini mencapai 250 orang. Jumlah anggota pun meningkat dari sekitar 600 peternak menjadi 5.200 peternak.
Ketua Umum KPBS Aun Gunawan mengatakan, populasi sapi milik anggota bertambah dari 2.000 ekor pada 1961 menjadi 22.000 ekor. Sementara kapasitas produksi koperasi saat ini 135 ton per hari dengan 95 persen adalah susu segar.

Dilema limbah
Walau begitu, geliat peternakan sapi perah di hulu Citarum bukannya tidak meninggalkan persoalan lingkungan. Populasi sapi yang mencapai 6.000 ekor belum dibarengi manajemen pengelolaan limbah yang memadai. Keterbatasan lahan menyebabkan para peternak berpikir pendek dan membuang limbah begitu saja ke aliran sungai tanpa diolah.
Ini menyumbang persoalan sedimentasi yang terbawa sungai. Belum lagi kandungan bakteri Escherichia coli (E coli) yang menyebabkan gangguan kesehatan. KPBS mencatat, dari sekitar 18.500 sapi perah di Bandung selatan, volume limbah kotoran yang dihasilkan mencapai 8.600 ton per bulan!
Soal lain, harga susu tak kunjung naik. Sudah dua tahun ini harga susu dari koperasi ke industri pengolahan susu Rp 3.500-Rp 3.700 per liter. Ini terendah di Asia Tenggara.
(M Kurniawan)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/27/02412128/emas.putih.di.bandung.selatan
 

Selasa, 26 April 2011

haa iki Sayur yang Tak Lagi Sehatkan Petani di Hulu Citarum

Selasa, 26 April 2011

Sayur yang Tak Lagi Sehatkan Petani di Hulu Citarum

Kompas/Rony Ariyanto Nugroho -  Petani sayuran di Kertasari, Bandung, Jawa Barat, menaikkan hasil panen daun bawang ke atas kendaraan pengangkut untuk dikirim ke sejumlah pasar, Senin (21/3). Hasil pertanian setempat menjadi salah satu pemasok utama sayuran untuk Provinsi Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Banten.
Herlambang Jaluardi

Keheningan di Situ Cisanti, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, hulu Sungai Citarum, sangat bertolak belakang dengan hiruk-pikuk warga di kampung sekitarnya. Hampir 24 jam transaksi sayuran tak berhenti. Kampung ini ikut memenuhi kebutuhan sayur warga Jabar, Banten, dan Jakarta.
Dari balik kaca mobil yang melaju pelan karena jalan aspal yang bolong di sana-sini, tampak lereng-lereng Gunung Wayang ditanami aneka ragam sayuran seperti daun bawang, wortel, tomat, dan kol. Kegiatan pertanian berbagi tempat dengan peternakan sapi perah di kecamatan berpenduduk sekitar 66.000 jiwa itu.
Kesibukan masih terasa hingga menjelang pukul 19.00. Iyep Taryana (43) di Kampung Pajaten, Desa Tarumajaya, Kertasari, masih mengawasi enam anak buahnya mencuci wortel yang akan diangkut ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Dalam sehari, ia mengangkut sekitar 6 ton wortel yang dibeli dari petani.
”Biasanya pencucian wortel selesai sekitar pukul 24.00, lalu langsung kami angkut ke pasar. Keesokan paginya sudah ada lagi petani yang menyetorkan wortel kepada kami, begitu seterusnya,” ujar Iyep yang memiliki tempat pencucian wortel sendiri sejak empat tahun lalu.
Namun, hasil sayur-mayur itu tidak selalu menggembirakan bagi petani dan pedagang. Iyep, misalnya, mengaku hanya mendapat untung Rp 100 per kilogram dari wortel yang ia kirim kepada pedagang di Jakarta, Tangerang, dan Bandung.
Nasib lebih buruk dialami para petani. Harga jual sayur-mayur cenderung tidak stabil. Pada masa panen akhir Maret lalu, misalnya, harga sayur mencapai titik yang seperti tidak masuk akal. Harga daun bawang tidak lebih dari Rp 500 per kg. Harga wortel juga tidak sampai Rp 1.000 per kg. Bahkan, kol hanya dihargai Rp 200 per kg.
Idin (33), petani daun bawang di Desa Cibeureum, Kertasari, hanya mampu menjual hasil cocok tanamnya itu Rp 500 per kg. ”Paling mahal Rp 600 per kg. Padahal, dua minggu lalu harganya masih Rp 1.500 per kg. Harga itu jauh dari ongkos produksi yang mencapai Rp 2.500 per kg,” ungkap Idin.
Beberapa petani menuturkan, penurunan harga daun bawang berlangsung sejak pertengahan Februari. Pada awal Januari harga jual masih sekitar Rp 5.000 per kg. Hingga pertengahan Maret harga terus merosot sampai 80 persen dari harga awal Januari.
Wortel mengalami nasib serupa. Pada akhir Februari harganya masih Rp 2.500 per kg. Akhir Maret, sayuran yang sarat vitamin A itu cuma dihargai paling bagus Rp 800 per kg. Petani menduga, penurunan harga jual akibat musim panen yang berlangsung serentak di sejumlah sentra pertanian sayur di Jabar seperti di Kertasari, Pangalengan, dan Lembang.
Eman Sulaeman (42), petani di Tarumajaya, menambahkan, permintaan dari pedagang di Pasar Induk Cibitung (Bekasi), Caringin (Bandung), Kramat Jati (Jakarta Timur), serta beberapa pasar lain di Depok, Tangerang, Bogor, dan Cirebon sedang menurun. Itu terjadi karena sayuran dari sentra pertanian lain banyak juga yang masuk pasar.
Petani tentu rugi atas keadaan ini. Eman menggambarkan, hasil panen wortel dari satu patok lahan (sekitar 625 meter persegi) hanya 4 kuintal. Dengan ongkos produksi wortel rata-rata Rp 400.000 dan harga jual Rp 700 per kg, petani rugi Rp 120.000 dari setiap patok garapan. ”Untuk musim tanam nanti akan utang Rp 20 juta kepada saudara,” kata Eman.

Masa keemasan
Sayur-mayur bagi petani di Kertasari pada akhir dekade 1990-an menyehatkan ekonomi keluarga. Saking menggiurkan, petani padi berbondong-bondong beralih menanam sayur.
Enjang Rahman (54) adalah petani sayur yang sebelumnya menanam padi sejak 1985. ”Hasil padi tidak banyak karena lahan saya sempit. Karena banyak tetangga menanam sayur, saya ikutan juga,” kata Enjang yang menanam daun bawang.
Ketika musim panen tiba, Enjang memanen 2 ton daun bawang dari sekitar 1.000 meter persegi lahan. Ia mengenang, saat itu harga jual daun bawang mencapai Rp 2.500 per kg dengan modal yang dibutuhkan hanya Rp 500.000 untuk pupuk dan bibit. Ia pun untung sampai Rp 5 juta, jumlah yang lebih dari lumayan pada masa itu.
Selain modal lebih kecil dibandingkan dengan padi, waktu panen sayuran lebih cepat. Daun bawang dan wortel, misalnya, butuh waktu 30-50 hari hingga panen. Sementara padi butuh waktu sampai 3,5 bulan.
Enjang mengisahkan, dekade 1990-an menjadi masa keemasan petani sayuran. Pedagang di Jakarta mengutamakan pasokan sayuran dari wilayah Bandung karena dianggap paling dekat. ”Setiap musim panen, sepeda motor baru banyak yang berseliweran. Istri-istri petani juga memenuhi toko emas untuk belanja,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pedagang Komoditas Agro Jabar Yoke Yusuf mengatakan, anjloknya harga sayur pada panen raya bisa disiasati dengan mengatur pola dan jenis komoditas tanam di antara daerah sentra sayur. ”Kalau di Garut tanam wortel, petani di Pangalengan jangan menanam wortel juga. Ini butuh campur tangan pemerintah,” kata Yoke.

Dampak ekologi
Di sisi lain pertanian sayur di hulu Sungai Citarum yang tidak mengindahkan kaidah ekologis itu berdampak buruk terhadap kelestarian sungai. Gerusan tanah pertanian akibat hujan di lereng Gunung Wayang menciptakan sedimentasi di dasar sungai. Pendangkalan sungai akibat sedimentasi menyebabkan banjir yang sering terjadi di kawasan Baleendah dan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Setiawan Wangsaatmaja mengatakan, frekuensi banjir di DAS Citarum yang menunjukkan tren peningkatan, salah satunya, disebabkan penurunan tingkat infiltrasi dan retensi akibat kerusakan hutan dan erosi. Lebih jauh lagi, endapan yang terbawa sampai ke Waduk Saguling dapat mengurangi usia produktif bendungan yang menghasilkan listrik untuk Jawa dan Bali itu.
Permasalahan dampak ekologi akibat pertanian ini belum menemukan solusi yang tepat. Seperti diungkapkan Agus Derajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Tarumajaya, warga desanya masih mengandalkan sayuran karena masa panen yang cepat. ”Belum ada komoditas pengganti sayuran yang menawarkan keuntungan yang cepat seperti itu. Penanaman kopi yang sedang kami lakukan tidak terlalu diminati,” tutur Agus.
(Gregorius M Finesso/Mukhamad Kurniawan/Didit Putra ER)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/26/02295622/sayur.yang.tak.lagi.sehatkan.petani.di.hulu.citarum
 

haa iki Perguruan Tinggi Redesain Kurikulum

Selasa, 26 April 2011

Perguruan Tinggi Redesain Kurikulum

YOGYAKARTA, KOMPAS - Sejumlah perguruan tinggi mengaku telah melakukan antisipasi untuk mencegah kasus cuci otak oleh orang-orang yang diduga dari jaringan Negara Islam Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, misalnya, membentuk tim khusus untuk melakukan identifikasi dan rehabilitasi terhadap mahasiswa yang direkrut.
Rektor UGM Sudjarwadi, Senin (25/4), menyatakan, di UGM teridentifikasi empat mahasiswa telah direkrut jaringan NII.
Secara terpisah, Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Musa Asy’arie mengatakan akan melakukan redesain kurikulum. Belum dijelaskan perubahan kurikulum seperti apa yang akan dilakukan. Namun, Musa menyatakan, redesain diperlukan karena keadaan masyarakat sudah berubah dengan cepat, tetapi tak diikuti dengan perkembangan kurikulum.
Salah satu langkah yang akan dilakukan, UIN Sunan Kalijaga akan membuka komunikasi dan dialog seluas-luasnya dengan mahasiswa.
Dari Gresik, Jawa Timur, dilaporkan, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang yang menjadi korban cuci otak, Agung, mengaku masih trauma. Ia bahkan ingin pindah kuliah ke Surabaya untuk melepaskan diri dari jaringan NII.
Agung menghilang selama sebulan. Awalnya ia tidak menyadari masuk perangkap jaringan NII. Saat orientasi pengenalan kampus, ia berkenalan dengan seseorang di kampus dan sering diajak diskusi tentang keindonesiaan di mal-mal.
Agung sempat menggadaikan laptop untuk kepentingan jaringan. Ia bahkan diminta berbohong dengan mengatakan menghilangkan laptop temannya. Agung kemudian meminta uang Rp 10 juta—meski hanya dikirimi Rp 5 juta—yang langsung diserahkan kepada Vita Safia Destriana atau Ana yang merekrutnya.
Selanjutnya, ia dibawa ke Jakarta dan dijemput seseorang. Dengan mata tertutup ia dibawa ke suatu tempat dan dibaiat. Ia juga harus menyerahkan infak jihad minimal Rp 12,5 juta. Ia pulang ke rumah dengan naik taksi dari Surabaya ke Gresik, Sabtu lalu sekitar pukul 23.00.
Rektor UMM Muhadjir Effendy menyebutkan, di kampusnya ada 10 mahasiswa korban NII. Ada yang sudah dibaiat, lalu cepat sadar meski sudah berkorban uang. Ada juga yang telah menjadi pengikut dan merekrut sesama temannya.
Berdasarkan hasil investigasi UMM, gerakan ini murni penipuan berkedok doktrin agama. Karena itu, UMM akan melindungi korbannya.
”Mereka semua direkrut dalam keadaan tak saling tahu, antara November dan Desember 2010, dan total sudah menyetorkan sekitar Rp 100 juta ke rekening bank atas nama Najib dan Adam. Semua informasi ini sudah kami kumpulkan dan sudah kami berikan seluruhnya kepada polisi,” kata Pembantu Rektor III UMM Joko Widodo.
Di Jakarta, Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengimbau pimpinan universitas dan badan-badan eksekutif mahasiswa bekerja sama untuk mencegah pengaruh kelompok yang mengatasnamakan NII.
(ACI/ODY/ANO/ABK/FER)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/26/02282728/perguruan.tinggi.redesain.kurikulum
 

Senin, 25 April 2011

haa iki Citarum Tercemar dari Hulu

Senin, 25 April 2011

Citarum Tercemar dari Hulu

Bandung, Kompas - Sungai Citarum, sumber air minum bagi 25 juta warga Jawa Barat dan DKI Jakarta serta pemasok tenaga listrik bagi Pulau Jawa dan Bali, kini tercemar logam berat. Pencemaran disertai pelumpuran dan pendangkalan yang hebat terus berlangsung tanpa ada penanganan serius.
Akibatnya, hampir semua fungsi sungai yang sangat strategis bagi kepentingan nasional itu rusak berat. Percemaran dan sedimentasi terjadi mulai dari hulu sungai di Situ Cisanti di kaki Gunung Wayang, Bandung selatan, dan mengalir sepanjang 269 kilometer hingga muara sungai di Pantai Muara Merdeka, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, Jabar.
Sebelum mengalir ke Laut Jawa, sungai terbesar dan terpanjang di Jabar ini digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Waduk Saguling (kapasitas 700-1.400 megawatt), WadukWaduk Cirata (1.008 MW), dan Waduk Jatiluhur (187 MW). Ketiga PLTA itu memasok listrik untuk jaringan interkoneksi Pulau Jawa-Bali yang dihuni hampir separuh dari penduduk negeri ini.
Air Citarum yang tercemar juga digunakan untuk perikanan dan irigasi di 420.000 hektar lahan pertanian di Kabupaten Bandung, Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Cianjur, Purwakarta, serta lumbung padi nasional di Kabupaten Karawang, Subang, dan Indramayu.

Tingkat kerusakan
Ekspedisi Sungai Citarum 2011 yang dilakukan Kompas dengan menyusuri sungai dari Situ Cisanti hingga Muara Gembong, pekan lalu, mencatat, perusakan sungai berlangsung sejak puluhan tahun lalu dan dibiarkan begitu saja melintasi alur sungai. Secara kasatmata, hanya 700 meter dari Situ Cisanti, air Citarum dijadikan tempat pembuangan limbah kotoran sapi.
Padahal, air yang keluar dari tujuh mata air di hulu itu sangat bening. Setelah itu, aliran sungai ini melewati perkampungan padat Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung, yang sebagian besar penduduknya merupakan petani sayur dan peternak sapi perah. ”Semua peternak sapi perah di desa ini membuang kotoran sapinya langsung ke sungai,” ujar Agus Darajat, tokoh masyarakat yang juga Ketua Kertasari Bersatu.
Hasil pemantauan kualitas air Perum Jasa Tirta II menyebutkan, air dari Outlet Cisanti sudah mengandung HS (hidrogen sulfida) dan chemical oxygen demand (COD) melebihi ambang baku mutu.

Alih fungsi lahan
Tokoh masyarakat hulu Citarum, Dede Jauhari, menilai kerusakan itu akibat alih fungsi lahan dari seharusnya kawasan hutan konservasi daerah penangkap air menjadi daerah pertanian semusim. Hampir semua pertanian sayur (wortel, kol, kentang, dan daun bawang) di hulu Citarum menggunakan pestisida dan pupuk kimia.
Di sentra industri tekstil Kecamatan Majalaya, 20 km dari Kertasari, limbah industri berwarna pekat dengan bau menyengat serta temperatur dan keasaman tinggi langsung dibuang ke Citarum. Di Kecamatan Dayeuhkolot hingga Soreang, 40-60 km dari hulu, selain limbah industri, sampah domestik yang dibuang dari permukiman padat ke sungai juga memperparah pencemaran. Sampah dari Kota Bandung yang terbawa anak sungai pun turut menjadi bagian dari pencemaran Sungai Citarum.
Di Cekungan Bandung ini, sejumlah anak sungai bermuara ke Citarum, yakni Sungai Cikijing, Citarik, Cikeruh, Cidurian, Cikapundung, Cisangkuy, Citepus, dan Cibeureum, yang dijadikan tempat pembuangan limbah dan sampah oleh semua pihak. Berdasarkan hasil evaluasi pemantauan kualitas air oleh Perum Jasa Tirta II, zat kimia Zn (seng), Fe (logam), NH-N, NO-N (nitrogen), HS, Mn (mangan), biochemical oxygen demand (BOD), COD, dan oksigen terlarut melebihi baku mutu air.
”Sampah dari rumah tangga lebih mudah terurai bila dibandingkan dengan limbah industri yang membahayakan,” ujar Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jabar Iwan Setiawan Wangsaatmadja. Pencemaran dan sedimentasi terus berlangsung ke tengah, sekitar Waduk Saguling, Cirata, dan Jatiluhur, hingga ke muara di Laut Jawa.
General Manager Indonesia Power Unit Bisnis Pembangkit Saguling Erry Wibowo membenarkan, air Citarum yang masuk ke Waduk Saguling sudah tercemar bahan kimia, terutama HS. Pencemaran berlangsung sejak waduk dioperasikan pada 1985 tanpa ada upaya pengendalian. ”Kami khawatir kasus minamata terjadi di Citarum karena hingga kini belum ada pengendalilan,” ujar Erry.
Hasil penelitian Pusat Lembaga Sumber Daya Alam Lingkungan Universitas Padjadjaran Bandung, Indonesia Power, Pembangkit Jawa-Bali, dan Perum Jasa Tirta menunjukkan, air di ketiga waduk itu tak layak untuk air baku minum, budidaya perikanan, dan peternakan.

Air minum Jakarta
Dari Waduk Jatiluhur, air mengalir ke hilir melalui Bendung Curug yang membagi air ke irigasi Tarum Barat dan Tarum Timur. Tarum Barat mengalirkan air untuk bahan baku air minum 10 juta warga DKI Jakarta. Sebanyak 8.500 liter per detik air baku dikelola PT Aetra Air Jakarta dan 6.000 liter per detik air baku diolah PT Palyja.
Di kawasan Muara Gembong, air Citarum berwarna coklat muda langsung masuk ke Laut Jawa. Menurut laporan Perum Jasa Tirta II, Desember 2010, air Citarum di Muara Gembong mengandung Fe, NO-N, dan HS lebih dari baku mutu. ”Tahun 2009 pernah semua ikan mati dan mengambang di Sungai Citarum,” ungkap Suryana (35), Sekretaris Desa Pantai Bahagia, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi.
Gubernur Jabar Ahmad Heryawan mengaku, di balik perannya yang strategis, Citarum juga sering memicu banjir. Luas Daerah Aliran Sungai Citarum tercatat 6.614 km persegi dan dihuni 15,3 juta penduduk.
Yang mengherankan, belum ada instansi yang menangani perusakan dan pencemaran Citarum. ”Selama Citarum masih berair, walaupun tercemar hebat, itu dianggap biasa,” ujar Guru Besar Lingkungan Institut Teknologi Bandung Mubiar Purwasasmita.
(REK/CHE/ELD/MKN/HEI/DMU/GRE/JAN)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/25/02433544/citarum.tercemar.dari.hulu
 

Minggu, 24 April 2011

haa iki Harga udang galah Rp 9.500 per ons, dan ikan nila serta patin masing-masing Rp 4.000 per ons.

Minggu, 24 April 2011

Udang Bakar di Tepi Sungai Kahayan

Kompas/Dwi Bayu Radius - Pengunjung Kampung Lauk di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Minggu (10/4), tengah menikmati kelapa muda sambil memandangi panorama Sungai Kahayan.
dwi bayu radius

Satu Minggu di pertengahan hari. Pengunjung di Restoran Kampung Lauk, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, membeludak. Para pegawai pencatat pesanan luar biasa sibuk di depan pengantre yang mengular. Tak ada tempat tersisa meski ada 37 saung di sana.
”Ada tempat?” tanya seorang ibu yang baru datang. ”Sudah penuh Bu, silakan mendaftar ke meja pemesanan,” jawab Feri Susilawati, Manajer Kampung Lauk. Semangat sang ibu untuk bersantap langsung terlihat jatuh ketika melihat sekitar 30 orang di depan meja pemesanan.
Meski demikian, ia beranjak juga menuju meja tersebut. Tak sedikit pemesan tempat yang kecewa dan pergi. Akan tetapi, lebih banyak lagi yang bersedia menunggu. Feri sendiri setelah itu langsung tenggelam dalam bon- bon konsumen yang belum dihitungnya. Pramusaji hilir mudik mengantar makanan.
Demikian suasana di Kampung Lauk, tempat orang-orang rela berbondong-bondong antre. Kampung Lauk yang berada di tepi Sungai Kahayan baru berdiri pada tahun 2006, namun sudah termasuk tujuan wisaya kuliner paling favorit di Palangkaraya. Tak heran tempat itu disinggahi konsumen yang berduyun-duyun.
Mereka dimanjakan dengan berbagai hidangan sungai dan sayuran yang segar. Memandang panorama Sungai Kahayan sambil menikmati hidangan itu adalah pesona yang ditawarkan Kampung Lauk. Di saung-saungnya lembut angin sepoi-sepoi membelai wajah para pengunjung yang lahap menyantap ikan bakar lezat.
”Karena berada langsung di tepi Sungai Kahayan, hidangan yang disajikan selalu segar. Soalnya, ikan dan udang ditangkap langsung dari sungai,” ujar Feri. Pagi-pagi nelayan sekitar sudah menyetor tangkapannya ke Kampung Lauk. Di bak-bak penampung di sana terlihat ikan dan udang hidup.
Kampung Lauk memiliki 10 bak penampung dengan ukuran masing-masing sekitar 2,5 meter x 5 meter. Dengan demikian, kesegaran bahan baku hidangan tetap terjaga ketika akan diolah.
Ada sekitar 25 jenis makanan dan 20 minuman dalam daftar menu. Hidangan andalan Kampung Lauk adalah udang galah, nila, dan patin. Harga menu pun cukup terjangkau. Harga udang galah Rp 9.500 per ons, dan ikan nila serta patin masing-masing Rp 4.000 per ons.
Berat udang galah untuk setiap porsi biasanya sekitar 2,5 ons dan ikan sekitar 7,5 ons. Rata-rata, Kampung Lauk menghabiskan ikan patin dan nila masing-masing sebanyak 150 kilogram pada hari Minggu dan 75 kilogram per hari pada Senin hingga Sabtu.
”Sementara, jumlah udang galah sebanyak 25 kilogram per hari. Itu untuk Senin hingga Minggu. Selalu habis karena memang sebesar itu jumlah yang bisa kami sediakan,” tutur Feri. Ikan dan udang bakar paling digemari konsumen. Selain bakar, terdapat pilihan lain seperti asam manis dan goreng.
Jika ingin mencoba menu yang tidak biasa, silakan memesan ikan khas sungai-sungai yang ada di Kalteng, seperti seluang, jelawat, baung, dan lais. Masakan Kalteng seperti sayur rotan dan kalakai menjadi pelengkap hidangan utama. Sambal serai, sayur asam, dan kangkung tentunya tersedia.

Renyah
Tibalah saat untuk mencicipi ikan patin asam manis dan udang galah bakar. Begitu patin dicecap di lidah, rasa saus asam manis dipadu potongan mentimun dan nanas berpadu amat pas dengan renyahnya daging ikan.
Udang bakar terasa kenyal dan segar. Kecap, margarin, dan sedikit madu menyatu dalam potongan udang. Bumbu-bumbu lain, seperti bawang merah, bawang putih, garam, dan saus tomat, menambah sedap hidangan. Jelas terasa aroma segar udang hidup yang langsung diolah, bukan disimpan di lemari pendingin dulu.
Di saung berukuran 16 meter persegi itu, mata terasa berat mengerjap-ngerjap dibuai angin sepoi-sepoi dari Sungai Kahayan. Apalagi, pondok-pondok diteduhi dengan naungan pepohonan. Keteduhan itu pula yang terasa saat pengunjung melintasi jalan setapak dari kayu menuju saung. Deru speedboat dan kelotok yang sesekali lewat menyelingi obrolan di sela-sela tamu menyantap hidangan.
Pemandangan lain adalah lanting atau rumah kecil dari kayu yang dihuni penjaga karamba menghiasi sisi-sisi Sungai Kahayan. Di seberang sungai terlihat hutan yang masih rimbun. Bila pengunjung datang pada malam hari, pemandangan itu beralih menjadi kelap-kelip lampu perahu nelayan yang mencari ikan.
”Apalagi, kalau langitnya sedang bersih dengan bintang-bintang terlihat jelas dan terang bulan. Cahayanya memantul di Sungai Kahayan,” tutur Feri.
Sambil berkendara menuju Kampung Lauk, sekitar 10 menit dari pusat kota Palangkaraya, jangan lupa menikmati pemandangan saat melintasi jembatan Sungai Kahayan yang menjadi salah satu ikon kota. Di pinggir jembatan, muda-mudi ramai bercengkerama di sore hari sambil menikmati panorama kota dari kejauhan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/24/0353313/udang.bakar.di.tepi.sungai.kahayan
 

haa iki Rasa Nusantara di Negeri Samba

Minggu, 24 April 2011

Rasa Nusantara di Negeri Samba

KOMPAS/ FRANS SARTONO - Tohpati Ethnomission tampil di festival budaya Virada Cultural 2011, Sao Paulo, Brasil, yang berlangsung pada 16-17 April.
frans sartono 

Kelompok musik Tohpati Ethnomission tampil di Virada Cultural 2011, sebuah festival budaya akbar di Sao Paulo, Brasil, 16-17 April lalu. Di negeri samba itu, mereka menyodorkan rasa Nusantara yang memikat publik. 
Lonceng di Basilika Sao Bento di kota Sao Paulo itu berdentang-dentang. Jarum jam di menara gereja besar itu menunjuk pukul lima sore waktu Brasil. Saat itu sedang akan dimulai misa Minggu Palma pada Minggu, 17 April. Tepat pada saat itulah Tohpati Ethnomission mengakhiri penampilan mereka di perhelatan Virada Cultural.
Virada Cultural merupakan festival budaya tahunan yang diselenggarakan oleh Perfektur Sao Paulo, Brasil, sejak tahun 2005. Seperti pada festival sebelumnya, acara digelar pada hari Sabtu dan Minggu selama 24 jam nonstop. Tampil ratusan kelompok musik, antara lain band trash metal Sepultura, POD dan The Misfits, serta musisi jazz Deodato.
Festival menggunakan salah satu bagian kota sebagai arena pertunjukan musik. Terdapat puluhan arena yang menempati berbagai sudut kota Sao Paulo. Tohpati Ethnomission tampil di panggung yang berada di kawasan Largo Sao Bento. Panggung berada di tikungan jalan, persis di depan Basilika Sao Bento.
Sekitar 500-an penonton sangat apresiatif menikmati musik Tohpati Ethnomission yang berawak Tohpati pada gitar, Indro Hardjodikoro (bas), Demas Narawangsa (drum), Endang Ramdan (kendang), dan Diki Suwarjiki (suling). Penonton belum beranjak pergi ketika Tohpati dan kawan-kawan berpamitan.
Kelompok yang dibentuk tahun 2009 itu meramu elemen musik dari beragam ranah etnis Nusantara, seperti Sunda, Bali, Jawa, Aceh, Minang, dan Kalimantan. Tohpati dan kawan-kawan, didukung lembaga sosial Bakrie untuk Negeri, menyodorkan rasa Nusantara itu ke negeri samba lewat Virada Cultural.

Ditengok
Tohpati Ethnomission membuka penampilan dengan permainan paduan drum dan perkusi kendang. Pada bagian perkusi terdapat kecrek dan kempluk. Gitar Tohpati mengalunkan melodi dengan cengkok Bali mirip lagu ”Janger”. Penonton yang tampak apresiatif memberi aplus riuh ketika bagian solo kendang dari Endang Ramdan yang khas Sunda itu berpadu dengan suling Sunda dari Diki Suwarjiki.
Untuk sebuah festival berskala internasional, Tohpati merasa perlu untuk menampilkan identitas Indonesia dalam musiknya. ”Saya mencari musik lain supaya ditengok orang di luar negeri,” kata Tohpati yang membawakan komposisi dalam album mereka Save The Planet.
”Kalau fusion kan sudah banyak. Kalau main jazz standar yang biasa-biasa itu saya tak yakin akan ditengok,” katanya menambahkan.
Dan rupanya musik Tohpati dengan sentuhan etnisnya itu cukup ditengok oleh publik festival Virada Cultural. Mereka sangat responsif pada suguhan Tohpati dan kawan-kawan yang secara nama belum mereka kenal. Nyatanya, khalayak Brasil
merespons musik Tohpati dengan teriakan tanda puas dan gerak tubuh yang senantiasa bergoyang.
”Orang Brasil itu menyukai rhythm (irama), peka dengan rhythm. Di Brasil rhythm itu menjadi elemen penting dalam kehidupan mereka sehari-hari,” kata Leonardo Pavkovic, produser dari MoonJune Records yang merekomendasi Tohpati Ethnomission tampil di Virada Cultural.
Seusai pentas, sejumlah penonton menanyakan apakah Tohpati menyediakan album. Seorang penikmat bahkan ada yang penasaran dengan datang ke hotel tempat Tohpati menginap untuk mencari album Save The Planet. Album tersebut sebenarnya juga diproduksi di Brasil oleh MoonJune Records, sebuah label yang berbasis di New York.

”Musik Kartu Pos”
Tohpati cukup berhati-hati meramu elemen etnis dalam komposisi musiknya. Ia mengaku berusaha keras agar elemen etnis itu tidak menjadi sekadar tempelan. Ia berupaya meleburkan elemen tradisi dan jazz dalam satu kesatuan komposisi utuh. Suling, misalnya, dirancang Tohpati untuk masuk mengikuti diatonis, namun dengan tidak meninggalkan akar rasa tradisi.
”Ini satu kesatuan lama dan baru, tradisi-modern.
Ini bukan fusion yang dimasukin suling atau kendang. Kalau dicabut (salah satu elemen musiknya) akan terdengar aneh,” kata Tohpati menjelaskan konsep musiknya.
Produser MoonJune Records Leonardo Pavkovic melihat karya Tohpati bukan sebagai musik postcard music, musik kartu pos. Istilah itu merujuk pada musik yang sekadar menjual eksotisme suatu negeri tertentu. ”Musik Tohpati bukan postcard music. Ia melampaui elemen eksotika musik Indonesia itu,” kata Leonard.
Elemen etnis, lanjut Leonard, telah teramu dalam satu konsep artistik yang utuh. Di dalamnya ada elemen jazz yang menjadi semacam lingua franca, bahasa pergaulan global. Dalam format itu, nuansa etnis dari beragam ranah di Nusantara memberi warna tersendiri.
”Saya ingin orang menikmati warna musik seperti itu. Kalau tidak, mereka akan sulit didengar,” kata Leonard. Dan rupanya, misi etnis Tohpati dan kawan-kawan itu sampai dan—meminjam istilah Tohpati—ditengok publik Brasil.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/24/03590556/rasa.nusantara.di.negeri.samba
 

haa iki Orang Asmat Asli Masih Terpinggirkan

Minggu, 24 April 2011

Orang Asmat Asli Masih Terpinggirkan

Erwin Edhi Prasetya dan St Sularto 

Meski hari sudah beranjak sore, pasar Agats masih hiruk-pikuk. Beberapa warga baru saja datang menawarkan hasil tangkapan ikan yang tampak segar. Penjual sayur dan buah-buahan masih menggelar dagangan. Pedagang bukan asli Asmat—mudah dibedakan dari rambut dan warna kulit—menempati kios-kios. Yang asli menggelar dagangan di emperan kios atau di pinggir jalan—deretan papan kayu tersusun menyerupai jalan selebar dua meter—yang kalau dilewati terdengar berderak-derak.
Pemandangan sore itu sudah berulang dari hari ke hari. Pasar yang berada di dekat Pelabuhan Agats ini—lokasinya semakin menjorok ke dalam karena abrasi—merupakan urat nadi ekonomi masyarakat Agats. Seperti pasar-pasar pada umumnya, pedagang menggelar aneka dagangan di atas lapak dan selasar yang sempit. Ada kios kelontong, kios pakaian, toko elektronik, toko telepon seluler dan pulsa, warung makan, dan penjual sayuran. Di Jalan Yos Sudarso dan Bhayangkara di dekat pasar berderet toko, bahkan ada salon kecantikan Mega Jawa.
Ironisnya, jarang ditemukan orang asli Asmat sebagai pemilik toko atau kios di sentra perekonomian itu. Orang Asmat yang berjualan bisa dihitung dengan jari tangan. Itu pun mereka hanya berjualan kecil-kecilan, seperti sayuran, pisang, pinang, dan hasil tangkapan ikan. Lebih sedikit lagi menemukan orang Asmat bekerja sebagai penjaga toko. Kebanyakan toko kelontong, warung makan, apotek, dan toko baju dimiliki pendatang. Warga Bugis Makassar dominan di sektor perdagangan.
Fenomena terpinggirnya orang-orang asli Papua di sektor perdagangan dan jasa bukan hanya terjadi di Asmat. Kondisi serupa juga terjadi di kabupaten dan kota lain di Provinsi Papua dan Papua Barat, seperti di Merauke, Abepura, Timika, Manokwari, dan Jayapura. Di kawasan sentra-sentra ekonomi, para pendatang menjadi aktor utama.
Di Merauke, misalnya, toko swalayan yang berderet di jalan utama Mandala banyak dimiliki warga Tionghoa. Pendatang dari Jawa dan Padang bergerak di bidang warung makan. Pendatang dari Bugis Makassar selain banyak bergerak di sektor perikanan, juga berdagang di pasar. Rental-rental mobil juga banyak diusahakan orang-orang Jawa. Lebih ironis lagi, langka ada orang suku Marind, yang merupakan penduduk asli Merauke bekerja sebagai pelayan di tempat-tempat usaha tersebut.
Beberapa penduduk asli biasanya hanya berjualan pinang. Hal yang sama di Jayapura, penduduk asli hanya berjualan kecil-kecilan, misalnya bensin eceran dan pinang, di trotoar, dan hasil bumi di selasar pasar.

Tak tahu standar harga
Saat orang-orang pedalaman Asmat datang sesekali ke Agats untuk menjual hasil alam atau ikan, mereka pun tidak mengetahui standar harga pasar. Terpaksa mereka melepas barang-barangnya dengan harga murah kepada pedagang pasar. Misalnya, satu tandan pisang kepok ukuran besar dibeli pedagang seharga Rp 60.000, kemudian dijual lagi degan harga jauh lebih tinggi. Udang kelas vanane dijual Rp 20.000 per kilogram, ikan juga dijual murah karena melimpahnya tangkapan, misalnya satu ikat ikan kuru sedang berisi 6-7 ekor dijual Rp 20.000, bahkan kalau tak segera laku dengan cepat diturunkan menjadi Rp 10.000, dan kalau tidak laku mereka buang. Pemkab Asmat tegas melindungi nelayan tradisional dengan melarang nelayan daerah lain menangkap di wilayah Asmat sehingga tangkapan cukup banyak.
Melihat kondisi yang merugikan warga Asmat, Keuskupan Agats berupaya agar mereka bisa menjual hasil bumi dengan harga wajar. Didirikanlah sebuah kios yang dikelola bekerja sama dengan seorang pengusaha pendatang untuk mendampingi dan menciptakan peluang pasar baru bagi orang-orang Asmat. Kios yang diberi nama Maju Bersama ini menampung dagangan warga. Kini, kios ini jadi salah satu tumpuan warga menjual apa saja, dari hasil bumi sampai patung dan ukiran. Kios ini diharapkan menjadi pemacu transaksi yang lebih adil untuk warga. Sekaligus mengurangi dominasi pendatang.
”Kami sekarang sampai kewalahan menampung hasil bumi warga. Kadang mereka datang membawa pisang banyak sekali, satu long boat penuh pisang. Untungnya, sekarang semakin banyak warga Agats yang membeli di sini sehingga uang bisa berputar terus,” ujar Ayun, pengelola kios Maju Bersama.
Uskup Agats Mgr Aloysius Murwito menuturkan, warga Asmat belum pandai hitung- menghitung. Mereka gampang menderita kerugian. Contohnya, seorang warga ingin menjual ayam jantan seharga Rp 100.000. Ketika pembeli menawar Rp 50.000, justru ayam itu diberikan seharga Rp 40.000. Contoh lain, sebuah ukiran ditawarkan Rp 500.000, ketika ditawar Rp 200.000 langsung diberikan. ”Mereka tidak bisa menentukan harga,” ungkapnya.
Untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat, ujar Aloysius, harus dihidupkan transaksi-transaksi yang adil sehingga warga mendapat uang untuk memenuhi kebutuhan. Keuskupan Agats pun mengembangkan Credit Union (CU) untuk modal usaha warga Asmat. Nasabah CU berkembang mencapai 780 orang. Namun, upaya itu tidak selalu mulus. Sebanyak 180 nasabah pinjamannya diputihkan akibat kredit macet. ”Dari hitungan kami sebenarnya mereka mampu mengembalikan. Mereka belum mampu mengelola keuangan,” ujarnya.
Potensi perekonomian Asmat sebenarya besar, misalnya perikanan dan pariwisata. Akan tetapi, potensi yang dimiliki belum digarap dengan baik. Padahal, apabila dikembangkan serius akan menjadi motor yang menggerakkan perekonomian rakyat. Dari kedua sektor itu bisa dibuka usaha mikro kecil, seperti kios cendera mata, restoran, dan usaha perhotelan. ”Bisa dikembangkan paket-paket wisata alam dan budaya. Bisa saja buka paket perjalanan wisata Jayapura-Wamena-Asmat. Asmat ini menarik karena memiliki keunikan yang tidak ada di tempat lain,” ujarnya.
Bupati Asmat Yuvensius A Biakai mengakui Asmat tertinggal dibandingkan dengan wilayah lain, terutama dibandingkan dengan Papua bagian utara. Ia menuding Pemerintah Provinsi Papua kurang memerhatikan wilayah Selatan Papua sehingga kabupaten harus bekerja sendirian. Karena itu, pihaknya mendorong segera dilakukan pemekaran wilayah selatan jadi Provinsi Papua Selatan untuk memacu pertumbuhan perekonomian di wilayah Selatan. Jika perekonomian wilayah selatan maju, Asmat juga maju. ”Pemekaran Provinsi Papua Selatan itu adalah kebutuhan,” ujarnya.
Yuvensius menarik kondisi kontras Papua bagian utara dengan Papua Selatan sebagai metafor negara-negara Utara dan negara-negara Selatan. Yang tergolong negara-negara Utara itu umumnya kaya dan makmur, sedangkan negara-negara Selatan itu dikelompokkan negara miskin atau negara berkembang. Demi keseimbangan, kearifan lokal yang dikembangkan di Papua, sewajarnya bagian Utara membantu bagian Selatan.
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/24/03143453/orang.asmat.asli.masih.terpinggirkan
 

haa iki ”Korupsi sudah jadi bahaya laten. Mari kita perangi dengan gerakan kultural selama satu abad,”

Minggu, 24 April 2011

Perangi Lewat Keluarga

Jakarta, Kompas - Perempuan dan keluarga hendaknya memperkuat pendidikan antikorupsi kepada anak-anak serta mendorong suami bekerja secara jujur. Hal itu dibutuhkan untuk melawan praktik korupsi yang membudaya dari atas hingga lapisan bawah masyarakat Indonesia.
Demikian mengemuka dalam dikusi ”Kartini Melawan Korupsi” di Depok, Jawa Barat, Sabtu (23/4). Program Indonesia Corruption Watch (ICW) itu menampilkan pembicara, antara lain, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani; Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari, musisi perempuan Melani Subono, dan perwakilan dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dotty Rahmatiasi.

Mulai kecil
Menurut Jaleswari Pramodhawardani, praktik korupsi saat ini sudah kian menjadi kebiasaan, bahkan menjelma sebagai budaya di tengah masyarakat. Budaya pemakluman atau membiarkan penyimpangan membuat praktik itu kian tumbuh di masyarakat. Kecurangan dalam hal-hal kecil perlahan-lahan mengental menjadi perilaku korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Dalam dunia pendidikan, misalnya, gejala itu terlihat dari kecurangan, nyontek, atau membocorkan soal ujian nasional (UN) yang berlangsung selama ini. Guru, murid, atau orangtua seakan memaklumi perilaku menyimpang itu agar anaknya memperoleh prestasi formal. Padahal, semua itu menjadi bibit korupsi di kemudian hari.
”Sebagian kalangan pendidikan mengejar target prestasi instan, tetapi mengorbankan nilai etika penting, seperti kejujuran atau kebenaran. Ini nanti akan menjerat kita dalam perilaku korup,” kata perempuan yang juga menjadi Dewan Penasihat The Indonesian Institute itu.
Ketika korupsi sudah demikian berurat di tengah masyarakat dan birokrasi, gerakan politik dan hukum tidak cukup untuk memeranginya. Diperlukan gerakan lebih sistematis lagi, yaitu lewat pendidikan. Kaum perempuan, keluarga, dan lembaga pendidikan dari tingkat TK, SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi harus turut menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini.
”Korupsi sudah jadi bahaya laten. Mari kita perangi dengan gerakan kultural selama satu abad,” katanya.

Tingkat RT/RW/kelurahan
Dian Kartikasari menilai bahwa korupsi sebenarnya tidak hanya berlangsung di tingkat atas dengan nilai uang ratusan juta atau miliaran rupiah. Korupsi juga berlangsung di sekitar kita meskipun dengan nilai lebih rendah. Praktiknya bisa terlihat dari kebiasaan pungutan liar dalam pengurusan kerja administratif di tingkat RT, RW, atau kelurahan.
”Kita bisa mencegahnya dengan tidak ikut arus memenuhi pungutan itu meski jumlahnya mungkin kecil,” katanya.
Keluarga atau ibu rumah tangga juga bisa melawan korupsi dengan mendidik anaknya supaya selalu jujur, berkata benar, dan bertindak apa adanya. Istri jangan memaksakan gaya hidup mewah apabila tidak sepadan dengan penghasilan suami. Pendidikan keluarga dan budaya di dalam rumah menjadi salah satu kunci penting untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi.

Anak jadi korban
Menurut Koordinator Divisi Kampanye Publik dan Pengalangan Dana ICW, Illian Deta Arta Sari, kaum perempuan dan anak-anak kerap menjadi korban dari korupsi. Meskipun sudah ditetapkan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, pencairan anggaran tersebut kerap bocor karena dikorup. Akibatnya, bantuan untuk pendidikan anak tidak mampu berkurang.
”Akibat korupsi, jumlah anak tidak sekolah tinggi,” katanya.
Korupsi terhadap anggaran kesehatan juga berdampak serius pada perempuan dan anak-anak. Jika dana program kesehatan digerogoti koruptor, bantuan untuk ibu hamil, melahirkan, dan gizi bagi anak balita berkurang. Semua itu membuat angka kematian ibu melahirkan dan anak balita tetap tinggi di Indonesia.
”Jangan kira korupsi itu hanya merugikan negara. Korupsi juga merugikan kita semua, keluarga, perempuan, dan anak-anak,” katanya. (IAM)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/24/03115599/perangi.lewat.keluarga
 

Kamis, 21 April 2011

haa iki Nurul Arifin, Metamorfosis Artis Menjadi Politikus

”Saya sering berusaha berbagi tugas dengan teman-teman fraksi di Komisi II, seperti membagi pertanyaan. Namun, ini sering ditanggapi dengan sinis. Saya dicurigai ingin menonjolkan diri, dan orang pada dasarnya juga tidak suka didikte,” kata Nurul."

Kamis, 21 April 2011

Nurul Arifin, Metamorfosis Artis Menjadi Politikus

Nurul Arifin. Itulah salah satu dari sedikit nama yang akan muncul jika ada pertanyaan, siapakah mantan artis atau perempuan yang sekarang mampu eksis di Dewan Perwakilan Rakyat. Nama lain yang layak disebut, antara lain, Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Nurul dikenal sebagai salah satu bintang di Komisi II (membidangi pemerintahan dalam negeri) DPR. Pemahamannya yang dalam terhadap persoalan seperti pemilihan umum dan pemekaran daerah membuat anggota Fraksi Partai Golkar ini menjadi ”sosok lain” dibandingkan saat masih menjadi artis hingga pertengahan tahun 1990-an.
”Kerja keras,” ujar Nurul saat ditanya kunci keberhasilannya bermetamorfosis dari artis (panas), aktivis, dan sekarang politikus. Metamorfosis itu dimulai Nurul tahun 1997 ketika berperan sebagai dokter Halimah di sinetron Kupu-kupu Ungu. Peran tersebut mendorongnya menjadi aktivis penanggulangan HIV/AIDS.
Dalam gerakan itu, dia menemukan ada ketidakadilan yang dialami perempuan. ”Saya lalu menjadi aktivis perempuan. Karena melihat bahwa perubahan juga harus dilakukan dari dalam, saya memutuskan terjun ke politik,” tutur Nurul.
Setelah dikalahkan oleh nomor urut pada Pemilu 2004, akhirnya Pemilu 2009 mengantarkan Nurul ke DPR dari Daerah Pemilihan Jawa Barat VII, yaitu Purwakarta, Karawang, dan Bekasi.
Metamorfosis panjang itu membuat Nurul tidak canggung duduk di lembaga legislatif. Apalagi, saat mengambil program pascasarjana di Universitas Indonesia, tesis Nurul tentang pemilu kepala daerah, sejalan dengan tugasnya di Komisi II.
Namun, tidak semua anggota DPR punya kesiapan seperti Nurul. ”Ada anggota Komisi X DPR (antara lain membidangi pendidikan) yang belum pernah kuliah. Akibatnya, saat rapat kerja dengan rektor, tidak tahu istilah perkuliahan seperti sistem kredit semester,” cerita dia.
Selama 1,5 tahun menjadi anggota DPR, menurut Nurul, juga ada anggota Komisi II yang baru satu kali bicara dalam rapat komisi. Fatalnya lagi, tidak semua yang disampaikan anggota DPR bermutu.
”Tata tertib DPR memberi kesempatan anggota DPR bicara selama tiga menit dalam rapat. Namun, ada anggota DPR yang lebih suka menonjolkan individualitasnya saat bicara. Waktu tiga menit itu habis untuk pengantar dan saat waktu ditambah, sering kali substansinya tidak jelas,” papar Nurul.
Di negara lain, pembatasan waktu bicara itu dapat dimanfaatkan sebaik mungkin untuk membahas hal-hal substansial. Di Australia, anggota parlemen diberi waktu bicara 90 detik, sedangkan di Amerika Serikat selama lima menit.
Berbagai hal ”menggelikan” di DPR itu, menurut Nurul, antara lain disebabkan oleh sistem pemilu dengan suara terbanyak. Kebijakan tersebut membuat banyak anggota legislatif hanya bermodalkan uang dan popularitas ketika duduk di DPR.
Padahal, anggota DPR tidak hanya dituntut menguasai persoalan. Mereka juga harus memiliki kepekaan dan kemampuan mengorganisasi massa.
Tuntutan itu membuat anggota DPR yang umumnya berhasil menjalankan tugasnya dengan baik ialah yang sebelumnya telah bermetamorfosis cukup lama, misalnya melalui kegiatan sosial atau aktivitas partai. Ironisnya, tak banyak anggota DPR yang sebelumnya mengalami metamorfosis itu.
Beragamnya latar belakang dan kepentingan anggota DPR, juga menyulitkan adanya komitmen bersama di lembaga tersebut. Bahkan, menurut Nurul, tidak ada komitmen bersama di DPR, yang ada hanyalah komitmen individual.
”Saya sering berusaha berbagi tugas dengan teman-teman fraksi di Komisi II, seperti membagi pertanyaan. Namun, ini sering ditanggapi dengan sinis. Saya dicurigai ingin menonjolkan diri, dan orang pada dasarnya juga tidak suka didikte,” kata Nurul.
Kondisi itu akhirnya membuat Nurul memutuskan lebih banyak bekerja dengan cara dan komitmennya sendiri.
(M HERNOWO)
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/21/04524414/nurul.arifin.metamorfosis.artis.menjadi.politikus
 

Selasa, 19 April 2011

haa iki Misi Studi Banding DPR: Wisata, Belanja, Hingga Umroh

Selasa, 19/04/2011 08:13 WIB
Misi Studi Banding DPR: Wisata, Belanja, Hingga Umroh 
Rachmadin Ismail - detikNews


Misi Studi Banding DPR: Wisata, Belanja, Hingga Umroh

Jakarta - Apa saja kegiatan anggota DPR saat studi banding ke luar negeri? Dubes Republik Indonesia di Swiss Djoko Susilo mengungkapkan, belanja, wisata, hingga umroh menjadi tujuan utama.

Menurut Djoko, ada sejumlah negara yang menjadi tujuan favorit anggota Dewan untuk studi banding. Pertama adalah kawasan Amerika Utara yang meliputi Amerika Serikat (AS), Kanada dan wilayah lainnya.

Lalu, tujuan favorit kedua adalah kawasan Eropa Barat yang mencakup Swiss, Belanda, Inggris, Prancis, dan jerman. Terakhir adalah wilayah Asia Pasifik seperti Australia, Jepang, Korea dan China. Sebagian ada juga yang ke Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Mesir.

"Ada ciri khasnya, biasanya negara yang dipilih adalah negara mapan atau maju, dimana kemudian kepergian ini bisa jadi ada kegiatan sampingan seperti belanja atau berwisata," kata Djoko kepada detikcom, Selasa (19/4/2011).

"Dalam jumlah yang sedikit ada yang ke Timur Tengah, Arab Saudi dan Mesir. Tapi itu ujung-ujungnya umroh atau wisata," sambungnya.

Djoko yang pernah duduk sebagai anggota DPR ini menilai, anggaran untuk studi banding meningkat sejak tahun 2009. Karena itu, kunjungan pun semakin ramai, meski tanpa arah yang jelas.

Politisi PAN ini mengaku heran karena tidak pernah ada kabar studi banding atau kunjungan ke negara-negara miskin di Afrika. Padahal, untuk mencari sebuah perbandingan, tidak melulu harus dari negara maju.

"Catatan saya hampir-hampir tidak pernah ke negara-negara Afrika, untuk membandingkan kenapa mereka miskin dan tetap miskin. Kolega saya duta besar di Etiopia atau Amerika Latin termasuk jarang menerima, termasuk Zimbabwe, Sudan, dan negara lain seperti Chile, Per dan sebagainya jarang," paparnya.

Sebelumnya, berbekal draf RUU Fakir Miskin yang masih setengah jadi, rombongan komisi VIII DPR bertolak ke Australia dan China. Rombongan yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VIII DPR Gondo Radityo Gambiro bertolak ke Australia dan China pada hari Minggu (17/4). Rombongan akan melakukan tour ke dua negara tersebut hingga 24 April 2011.

Tidak ketinggalan Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR pun ikut melawat ke Amerika Serikat dan Inggris. Kunjungan ke Amerika dan Inggris yang dilakukan BURT DPR dijadwalkan di awal bulan Mei 2011.

Komisi I DPR juga melakukan kunjungan ke Amerika Serikat 1-7 Mei 2011 dengan menghabiskan anggaran Rp 1.405.548.500.

(mad/feb)
Sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/04/19/081329/1620313/10/misi-studi-banding-dpr-wisata-belanja-hingga-umroh?9911012

haa iki Invasi Ulat Bulu Suatu Musibah?

Selasa, 19 April 2011

Invasi Ulat Bulu Suatu Musibah?

Oleh Ronny Rachman Noor
Ada tanda tanya besar dalam diri saya menyaksikan hebohnya pemberitaan serangan ulat bulu di hampir semua media elektronik dan cetak.
Hampir semua kalangan menunjukkan reaksi yang sangat berlebihan, dari rakyat biasa sampai pejabat. Mereka menyikapi ulat bulu sebagai makhluk sampah yang harus dimusnahkan. Tidaklah mengherankan bila yang muncul adalah tindakan sadis dan reaktif: dari menyemprot dengan insektisida sampai membakarnya.

Zona homeostasis
Umumnya serangga mengalami siklus hidup, mulai dari telur, larva, pupa, hingga imago. Sebagai contoh, siklus hidup Cricula trifenestrata Helfer—lebih dikenal sebagai ulat avokad, ulat jambu mete, ulat kenari, dan ulat mangga—memiliki fase telur 7-11 hari. Ini diikuti siklus larva berupa instar I 5-6 hari, instar II 5-6 hari, instar III 4 hari, instar IV 4 hari, dan instar V 3-9 hari. Selanjutnya, fase pupa 17-21 hari dan fase imago (kupu dewasa) 4-11 hari. Total dalam satu siklus 43-58 hari (Suriana et al, 2011).
Umumnya serangga memerlukan kisaran suhu dan kelembaban udara yang memungkinkan siklus hidup di atas berlangsung baik. Inilah yang disebut zona homeostasis.
Fenomena yang biasa terjadi adalah jika suhu udara meningkat di atas ambang batas zona siklus hidup normal ulat, siklus hidup secara keseluruhan akan semakin cepat, kecuali pada fase pupa yang relatif lebih stabil. Sebaliknya, jika suhu lebih rendah dari ambang batas, siklus hidup menjadi lebih panjang dari siklus hidup normal.
Dalam entomologi, ada serangga yang hidupnya bergantung pada inang pohon tertentu, yang disebut serangga monofagus. Ada pula serangga yang hidupnya bergantung pada beberapa pohon, disebut serangga polifagus.
Secara alamiah dan naluriah serangga memiliki kepekaan terhadap perubahan lingkungan. Ketersediaan makanan dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga. Serangga dapat mengatur waktu dan durasi pertumbuhannya, yang melibatkan hormon ekdison dan hormon-hormon lain.
Faktor ketersediaan makanan dan faktor eksternal lain, seperti perubahan iklim yang mengakibatkan perubahan suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan predator alami, akan sangat memengaruhi strategi fisiologi dan kelangsungan hidup serangga.
Dengan kata lain, serangga dapat mengatur berapa lama siklus hidupnya sesuai dengan kondisi lingkungan, termasuk mengatur jumlah telur yang dikeluarkan sang induk (Vanhanen et al, 2005; Gibert et al, 2005; Suriana et al, 2011).
Serangan ulat bulu yang akhir-akhir ini melanda sejumlah provinsi di Indonesia merupakan bentuk dari perubahan faktor eksternal dan internal yang memengaruhi siklus hidup serangga ini. Keseimbangan antara serangga dan inang telah berubah sehingga terjadi ledakan populasi.

Merugikan?
Sebagai awam, menyaksikan pohon mangga, jambu mete, avokad, dan jambu yang gundul memang sangat mengerikan, apalagi melihat ulat bulu dalam jumlah sangat banyak.
Aktivitas ulat menggunduli pohon adalah aktivitas alamiah karena daya dukung makanan tidak seimbang dengan jumlah ulat di satu pohon. Namun, secara alamiah aktivitas ulat ini tidak akan mematikan pohon.
Ada yang belum diungkap dalam kasus serangan ulat bulu ini, yaitu pohon yang gundul sebenarnya diuntungkan. Dari berbagai hasil studi, produktivitas tanaman yang mengalami stres ringan, seperti digunduli ulat, akan meningkat.
Dari hasil pengamatan di lapangan, serangan ulat pada avokad dan jambu mete akan menstimulasi pohon berdaun lebih lebat serta berproduksi lebih baik dengan kualitas dan kuantitas buah yang lebih baik pula (Suriana et al, 2011). Inilah yang dalam genetika ekologi dikenal sebagai ”kompensasi”, yaitu stres ringan dapat meningkatkan produktivitas.
Banyak di antara serangga tersebut, terutama dari famili Bombycoidae, justru menguntungkan karena kokonnya dapat dijadikan serat sutra alam, seperti Bombyx mori yang menjadi tulang punggung penghasil 99 persen sutra dunia.
Spesies ulat sutra liar dari famili Saturniidae menghasilkan serat sutra yang sangat indah dan khas. Sebagai contoh, benang sutra yang diproduksi dari kepompong ulat avokad, jambu mete, mangga, kayu manis, dan kenari, yaitu Cricula trifenestrata, seperti disinggung di atas sangat indah karena berwarna keemasan. Harga benang sutra emas ini Rp 1,5 juta-Rp 1,7 juta per kilogram. Harga kokonnya saja Rp 65.000-Rp 70.000 per kilogram.
Bertolak dari uraian di atas, semestinya ulat tidak semata-mata dipandang sebagai hama. Ulat bisa menyuburkan inangnya dan produksi kokonnya sangat berharga. Jika ulat dapat dikelola dengan baik, akan banyak sekali sisi positif yang dapat ditonjolkan dan dimanfaatkan.
Sejak pelaksanaan Jogja International Silk Exhibition and Conference di Yogyakarta tahun 2002 dan dilanjutkan dengan Yogya Expo Center, penggunaan sutra dari ulat sutra liar ini makin berkembang. Sejumlah desa, seperti Desa Karang Asem, Bantul, telah berubah menjadi tujuan wisata sutra liar. Daerah tersebut memanfaatkan lahan tandus sebagai tempat pengembangan ulat sutra liar dengan inang tanaman jambu mete, sirsak, dan mahoni.
Jadi, perlu ada pergeseran paradigma dari memandang ulat sebagai makhluk yang sangat mengerikan menjadi makhluk ciptaan Allah SWT yang bermanfaat jika dikelola dengan baik. Hikmah lain yang juga perlu direnungkan adalah hendaknya kita sadar untuk tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu keseimbangan alam.

Ronny Rachman Noor Wakil Kepala LPPM IPB Bidang Penelitian
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/19/04463062/invasi.ulat.bulu.suatu.musibah
 

Senin, 18 April 2011

haa iki ”Kita mungkin telah memenangi Perang Dingin, menyenangkan luar biasa. Namun, semua itu berarti bahwa musuh kita sekarang bukan lagi mereka, melainkan diri kita sendiri.”

Senin, 18 April 2011

Dicari Wakil Rakyat yang Tidak Lupa Diri...

Ketika Konrad Hermann Josef Adenauer (1876- 1967) memimpin Republik Federasi Jerman sebagai kanselir pertama (1949-1963), seorang politikus muda marah kepadanya, ”Bagaimana mungkin Anda berani mengatakan persis kebalikannya dari apa yang Anda katakan sebulan silam?” Adenauer tidak marah, dia hanya menjawab singkat, ”Peduli apa saya dengan omongan saya yang kemarin-kemarin.”
Sikap Adenauer tersebut tampaknya bisa menjadi pintu masuk untuk memahami panggung politik Indonesia, terutama dengan perilaku para elitenya. Sikap politikus yang tidak konsisten, mengabaikan nilai-nilai kejujuran, mengabaikan etika dan moralitas, barangkali sudah menjadi rahasia umum di negeri ini. Dengan berbagai sepak terjangnya yang dinilai berseberangan dengan ”suara rakyat”, tampaknya amat sulit untuk memberikan penilaian yang positif buat mereka.
Kasus yang akhir-akhir ini mendapat perhatian begitu luas adalah soal rencana pembangunan gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Rencana itu tentu saja mendapat gugatan sebab anggarannya mencapai Rp 1,8 triliun. Bukan saja rencana pembangunan gedung itu menguras pundi-pundi negara, tetapi juga dinilai telah menzalimi rakyat yang tengah bergelut habis-habisan untuk bisa lepas dari belitan kemiskinan.
Kritik keras masyarakat sipil tak membuat hati wakil rakyat luluh walaupun akhirnya anggaran pembangunan diturunkan menjadi Rp 1,138 triliun. Namun, dengan kewenangan yang dimiliki, pimpinan dan anggota DPR ngotot membangun gedung berlantai 36 tersebut. Pada rapat konsultasi pimpinan DPR dengan para pimpinan fraksi dan BURT DPR, Kamis (7/4), diputuskan bahwa pembangunan gedung DPR itu dilanjutkan.
DPR tampaknya telah menutup telinga mereka rapat-rapat. Padahal, di internal DPR juga banyak yang tidak setuju. Dua fraksi sejak lama tak setuju, yaitu Fraksi PAN dan Fraksi Gerindra. Namun, rupanya ada juga wakil rakyat dari fraksi lain yang tidak setuju seratus persen menghendaki agar ada perubahan dalam proyek itu. Suara itu tak digubris elite di DPR yang oligarkis, termasuk menganggap angin lalu pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menginstruksikan penundaan hingga pembatalan pembangunan gedung baru di lingkungan pemerintah atau lembaga nonpemerintah jika sangat tidak diperlukan.
Sikap Ketua DPR Marzuki Alie yang juga politikus Partai Demokrat itu lebih melukai rakyat. Sulit untuk mengerti secara logis bagaimana seorang wakil rakyat memunggungi rakyatnya sendiri. Menurut Marzuki Alie, dalam rencana pembangunan gedung DPR itu rakyat biasa tidak perlu diajak membahas pembangunan gedung baru. Hanya orang-orang elite atau orang-orang pintar yang bisa diajak bicara.
”Kalau rakyat biasa dibawa memikirkan bagaimana perbaikan sistem, bagaimana perbaikan organisasi, bagaimana perbaikan infrastruktur, rakyat biasa pusing pikirannya. Rakyat biasa dari hari ke hari, yang penting perutnya berisi, kerja, ada rumah, ada pendidikan, selesai. Jangan diajak mengurus yang begini. Urusan begini, ajak orang-orang pintar bicara, ajak kampus bicara,” kata Marzuki di gedung rakyat, Senayan, Jumat (1/4). Pernyataan Marzuki itu juga menandai tercerabutnya relasi wakil rakyat dan rakyat.

Moralitas politikus
Memang semenjak Karl Marx menempatkan moralitas manusia ke dalam bangunan-atas ideologi yang hanya berfungsi melegitimasi struktur-struktur kekuasaan yang mapan, harapan perbaikan moralitas para politikus akan menunjang perbaikan dalam kehidupan masyarakat dianggap naif dan tidak realistis. Dalam kacamata Franz Magnis-Suseno (Filsafat Kebudayaan Politik, 1992), inflasi moralisme dari atas ditandingi, dari arah yang sama pula, oleh inflasi penyelewengan, korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, kecongkakan, kemunafikan, dan ketakpedulian terhadap nasib rakyat yang selalu diminta berkorban terus.
Boleh jadi itulah yang dicemaskan banyak pihak. Ada kecurigaan di balik rencana pembangunan gedung baru DPR. Walaupun berulang kali elite DPR menegaskan gedung baru itu bukan untuk kepentingan mereka, melainkan untuk DPR periode berikutnya, tetap saja ”bagi-bagi” proyek dalam tahap pembangunan dicurigai menjadi hal yang sangat menggiurkan. Banyak pihak yang tidak yakin jika DPR tidak mendapatkan apa-apa dari proyek tersebut.
Apalagi sejak mencuat ke permukaan proyek gedung baru diliputi keanehan, mulai alasan gedung DPR saat ini miring, rencana fasilitas mewah, anggaran turun drastis, dan proyek tanpa sayembara. Oleh karena itu, sangat wajar bila banyak yang meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi turun langsung mengawal proyek tersebut.
Runyamnya lagi, inflasi moralisme benar-benar menyelimuti wakil rakyat. Dalam ukuran kenormalan, kinerja berbasis prestasi akan diikuti dengan berbagai kompensasi atau fasilitas. Seseorang akan mendapat promosi dengan berbagai fasilitasnya ketika kinerja dan prestasinya baik (penghargaan). Sebaliknya, seseorang yang kinerjanya buruk biasanya mendapatkan demosi (hukuman).
Pola itu tampaknya tak berlaku bagi DPR. Saat menuntut pembangunan gedung baru yang mewah itu ternyata kinerja DPR sangat buruk. Bayangkan saja, dari target 70 legislasi, DPR cuma mampu merampungkan 16 undang-undang atau kurang dari 25 persen. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR juga tidak substansial dan lebih terlihat sebagai aksi atraktif. Dalam kasus Bank Century, misalnya, panggung DPR benar-benar teatrikal yang membuat gemuruh tepuk tangan, tetapi penyelesaian kasus itu kini tak terdengar lagi.
Supaya DPR tak terus lupa, mungkin menarik menyimak pesan Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. ”Kita mungkin telah memenangi Perang Dingin, menyenangkan luar biasa. Namun, semua itu berarti bahwa musuh kita sekarang bukan lagi mereka, melainkan diri kita sendiri.” Semoga DPR tak terus lupa diri…. (Subhan SD)

Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/18/03465917/dicari.wakil.rakyat.yang.tidak.lupa.diri...
 

Jumat, 15 April 2011

haa iki Rosihan Anwar Pergi Mendadak

Jumat, 15 April 2011

Rosihan Anwar Pergi Mendadak

Sabam Siagian

Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia, meninggal mendadak pada Kamis pagi, 14 April 2011, di Rumah Sakit MMC Jakarta. Tanggal 10 Mei nanti dia akan merayakan ulang tahunnya ke-89.
Meskipun pernah secara guyon saya ucapkan ketika merayakan ulang tahunnya ke-88, 10 Mei 2010, di Hotel Santika Jakarta: ” Old journalists never die, they keep on writing ...”—kita tentunya sadar bahwa umur manusia ada batasnya.
Setelah operasi jantung yang dijalani Bung Rosihan di Rumah Sakit Harapan Kita tanggal 24 Maret lalu, ia secara perlahan berangsur pulih. Hampir setiap hari saya jenguk dia. ”Bagaimana Bung, kata pengantarmu telah selesai?”
Beberapa hari sebelum masuk rumah sakit, Bung Rosihan sempat menyelesaikan naskah yang dia sudah janjikan: menceritakan kisah percintaannya dengan Zuraida Sanawi—istrinya tercinta— ketika tahun-tahun revolusi (1945-1949) dan pernikahan mereka selama berpuluh tahun mengatasi berbagai kesulitan, antara lain diberedelnya koran Pedoman pada tahun 1961 dan untuk selamanya pada 1974.

”Belahan Jiwa”
Pusing juga memikirkan pendekatan apa dan bagaimana yang perlu diterapkan sehingga sambutan saya (untuk buku tersebut) agar tidak sekadar bernada sentimental. Begitu banyak cerita percintaan diterbitkan dalam berbagai bentuk.
Apa yang khas tentang percintaan antara pemuda Rosihan Anwar dan pemudi Zuraida sejak mereka berkenalan pada tahun 1943, ketika mereka sama-sama bekerja di koran Asia Raya di Jakarta? Yang khas adalah setting -nya bahwa hubungan mereka mekar ketika memuncaknya revolusi Indonesia, dan kemudian menikah di Yogyakarta, ibu kota perjuangan, pada 1947. Ida mengungsi di Yogya sebagai penyiar siaran bahasa Inggris, The Voice of Free Indonesia , karena nada suaranya menarik dan paham bahasa Inggris.
Rosihan Anwar di Jakarta sebagai wartawan harian Merdeka . Setiap malam ia setel gelombang radio mendengar siaran dari Yogyakarta dan mendengar suara kekasihnya Zuraida: ”This is the Voice of Free Indonesia.” Adakah cerita yang menandingi tingkat romantika sekaligus bersifat politis seperti cerita Rosihan-Zuraida itu?
Karena itu, dalam kata sambutan pada buku Belahan Jiwa yang akan diterbitkan oleh penerbit Kompas-Gramedia, saya membandingkannya dengan karya besar Boris Pasternak, Doctor Zhivago , suatu cerita cinta kasih penuh derita dalam setting revolusi Rusia yang jauh lebih dahsyat dan lebih mengerikan dibandingkan dengan revolusi Indonesia.
Adalah manusiawi kalau para sahabat Rosihan Anwar mengharapkan bahwa dia masih sempat merayakan ulang tahunnya ke-89 dan masih sempat hadir dalam peluncuran buku Belahan Jiwa . Pasti dia akan puas dan bangga. Bagaimanakah kita akan mengenang Rosihan Anwar, wartawan super-senior Indonesia ini, yang sampai minggu-minggu terakhir hidupnya masih tetap produktif?
Pertama-tama, agaknya sulit dicari sosok wartawan/redaktur yang memiliki pendidikan yang cocok (sebagai siswa sekolah menengah atas berbahasa Belanda sebelum Jepang menduduki Jawa pada 1942, ia menguasai bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis), memori yang kuat, daya pantau yang tajam, pandangan yang kritis mendekati sarkastis, dan kemahiran menulis secara cepat, gaya sederhana dalam bahasa Indonesia yang serba rapi.
Fikri Jufri yang bertahun-tahun jadi pemimpin redaksi mingguan berita Tempo, tahun 1967, pernah bekerja di harian Pedoman dengan Rosihan Anwar sebagai pemimpin redaksi. Ia masih ingat betapa Bung Rosihan, setelah agak termenung, menulis tajuk rencana secara nonstop kira-kira dalam 20 menit dengan penutup yang kena sasaran.

Sumber inspirasi
Aspek-aspek apa lagi dari profil Rosihan Anwar yang ingin saya lihat diwarisi generasi muda wartawan Indonesia?
Persatuan Wartawan Indonesia, sebagai keputusan Hari Pers Nasional di Palembang pada 9 Februari 2010, memutuskan untuk menyelenggarakan program singkat kewartawanan di berbagai ibu kota provinsi guna menanggapi keluhan mengenai rendahnya kualitas jurnalistik Indonesia. Saya diminta sebagai pengajar mata pelajaran Hubungan Media dan Pemerintah. Setengah jam terakhir dari alokasi waktu dua kali dua jam, saya sisihkan bicara tentang profil Rosihan Anwar.
Biografi singkat yang telah dipersiapkan dibagi-bagikan. Kemudian saya tekankan aspek-aspek dari profilnya yang perlu diteladani para wartawan muda: cermat mengikuti peristiwa, rekam tanpa emosi berlebihan, jangan kacaukan fakta dan tulis dalam gaya bahasa yang rapi dan padat. ”Dan, kalau kalian memang mau tetap menekuni bidang jurnalistik ini sampai hari tuamu, tetaplah menulis.”
Sekolah Jurnalisme Indonesia dengan program padat selama dua minggu telah diselenggarakan di Palembang (tiga angkatan), Semarang, Bandung, dan Samarinda. Tiap kali saya sajikan profil Rosihan Anwar supaya moga-moga dia jadi panutan dan sumber inspirasi.
Kesetiaan pada profesi kewartawanan dan ketekunan menulis adalah warisan berharga yang ditinggalkan almarhum Rosihan Anwar. Kita yang beruntung sempat mengenalnya wajib meneruskannya kepada generasi muda wartawan Indonesia.
Terima kasih Bung RA atas jasa Anda.
 
Sabam Siagian Redaktur Senior Harian The Jakarta Post
Sumber : http://cetak.kompas.com/read/2011/04/15/04075446/rosihan.anwar.pergi.mendadak