Rabu, 27 Juni 2012

haa iki : Karena saat reformasi 1998 tidak terjadi pergantian rezim

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/13430375/Pemimpin.Bukan.Penakut

Pemimpin Bukan Penakut

| Heru Margianto | Rabu, 27 Juni 2012 | 13:43 WIB
 
 
KOMPAS/JOHNY TG  :  Mochtar Pabotinggi 
 
KOMPAS.com - Suasana lingkungan rumah Mochtar Pabottingi (66) cukup tenang, agak jauh dari keramaian jalan raya. ”Saya senang tinggal di sini. Suasananya tenang,” kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia ini. Mochtar sudah tinggal di Jalan Plafon I/12, Kampung Ambon, Jakarta Timur, sejak 1989. Tanaman di teras rumah makin memberikan nuansa sejuk.
Dalam suasana lingkungan rumah yang tenang itulah Mochtar yang lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, menjalankan ”askese intelektual”. Pada masa pensiun, ia tetap produktif dan memberikan pemikiran dan pandangan yang kritis.
Ia masih membuat puisi, novel, artikel, dan ikut menjalankan proyek penelitian di Aceh dan pemilihan umum. ”Novel saya diharapkan dapat diterbitkan bulan depan,” katanya.
Sebagai peneliti, doktor bidang ilmu politik dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat, ini tentu sudah banyak menulis berbagai artikel, khususnya di harian Kompas yang pada 28 Juni nanti merayakan hari ulang tahun ke-47. Dengan kontribusi pemikiran dalam wacana publik dan dedikasi yang konsisten dan tinggi sebagai cendekiawan di Indonesia, Kompas pun memberikan penghargaan ”Cendekiawan Berdedikasi” kepada Mochtar.
Mochtar sangat berharap Kompas tetap konsisten mewartakan dan menyuarakan semangat kebangsaan dan keindonesiaan serta berpihak pada kepentingan bangsa dan negara. Menyuarakan semangat kebangsaan dan keindonesiaan serta memperjuangkan kepentingan bangsa itu juga semakin penting mengingat semangat dan perjuangan itu semakin tergerus.
Mochtar sebagai pengamat politik juga termasuk orang yang kritis terhadap berbagai persoalan politik atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsistensi pemikiran yang kritis terlihat dari tulisan-tulisannya, misalnya ”Monumen Pengkhianatan” yang menyorot etika dan integritas para legislator yang semakin terpuruk (Kompas, 4/9/2010).
Mochtar juga pernah membuat artikel yang mengkritisi sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Artikel itu kemudian mendapat tanggapan dari Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha.

Kutukan terbesar
Mochtar menilai, setelah reformasi 1998, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara memang tidak lebih baik, bahkan sebaliknya, semakin memprihatinkan. Ia menilai kondisi bangsa dan negara saat ini masih memprihatinkan karena terkait dengan sejarah reformasi tahun 1998.
”Bangsa kita ini memasuki suatu periode yang sangat buruk ketika awal reformasi,” kata Mochtar. Mengapa? Karena saat reformasi 1998 tidak terjadi pergantian rezim.
”Orde Reformasi” tetap terisi oleh politisi dan pejabat publik yang berasal dari rezim Orde Baru. Berbeda saat Orde Baru mulai berkuasa tahun 1965, pergantian rezim benar-benar terjadi.
”Saat Orde Baru berkuasa, betul-betul terjadi clean government, clean regime change. Sementara, ini (reformasi), no regime change,” kata Mochtar. Akibatnya, tidak ada koreksi dari kesalahan atau pelanggaran besar yang dilakukan pejabat-pejabat pada masa Orde Baru. Tidak ada hukuman terhadap orang-orang yang dinilai bersalah pada masa Orde Baru, seperti terkait pelanggaran hak asasi manusia dan praktik koruptif.
Karena itu, menurut Mochtar, reformasi dimulai dengan impunitas. ”Impunitas ini terus berlanjut. Jadi, celaka atau kutukan terbesar sepanjang reformasi adalah dibalikkannya fungsi hukum. Hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi mempertahankan terus ketidakadilan,” katanya.
”Itu tidak bisa dibantah. Banyak orang berputar-putar ke mana-mana, tetapi intinya di situ. Semua negara tidak bisa tegak terhormat tanpa penegakan hukum,” tutur Mochtar.
Penilaian Mochtar itu mungkin benar. Saat ini, praktik impunitas terhadap pelaku kejahatan, seperti korupsi, terasa masih kental. Putusan bebas terhadap terdakwa perkara korupsi kian menjadi fenomena. Bahkan, sering muncul sinyalemen atau nada sinis bahwa partai politik pun cenderung menjadi ”pelindung” tersangka kasus korupsi.
Kekuatan partai politik yang seharusnya memperjuangkan agenda reformasi yang digulirkan sejak 1998 dan memikul kepentingan rakyat ibarat kehilangan taji. Ideologi partai politik seharusnya menjadi ”roh” dan kekuatan perjuangan membangun sebuah nation atau kolektivitas politik, semakin terbenam.
”Di DPR, apakah ada yang berpikir nation? Tidak ada. Setiap ada pembicaraan, semua dagang sapi, yaitu bagaimana menempatkan orang-orang pada proyek yang basah,” kata Mochtar.
Meski demikian, bangsa Indonesia memang tidak boleh kehilangan harapan. Kendati praktik koruptif masih masif, penegakan hukum belum menjadi panglima, dan Indonesia dinilai sebagai negara dalam bahaya menuju negara gagal, harapan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang besar harus tetap terbuka.
Apa syaratnya? Mochtar mengungkapkan, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi lebih baik kalau penegakan hukum dijalankan secara konsisten dan konsekuen. ”Kalau mau mengoreksi, tegakkan hukum. Para pemimpin di lembaga penegakan hukum harus benar-benar figur yang memiliki integritas, berkomitmen, dan berani,” kata Mochtar.
Persoalannya, Mochtar menilai, Presiden Yudhoyono kurang berani mengangkat pemimpin lembaga penegak hukum berintegritas, berkomitmen, dan berani. Pengangkatan para pemimpin lembaga penegak hukum itu pun tidak terlepas dari tawar-menawar politik dengan DPR.
Padahal, Yudhoyono merupakan presiden yang dipilih oleh mayoritas rakyat. Kalau ada presiden berani mengangkat para pemimpin lembaga penegak hukum yang berintegritas dan berani, penegakan hukum lebih dapat diimplementasikan.
Bahkan, menurut Mochtar, kalau Presiden benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat, ia juga tidak harus takut kepada sikap DPR yang mungkin dapat ”merongrong” eksekutif. ”Coba kalau SBY dari awal begitu. Namun, karena takut, SBY tidak bisa,” katanya.
Kekuasaan itu dipertandingkan. ”Siapa yang kuat, itu yang menang. Andaikata kekuasaan eksekutif kuat, dia bisa mengalahkan,’” tuturnya.

Memberikan harapan
Meskipun kerap mengkritik kondisi bangsa ini dengan tajam, Mochtar termasuk cendekiawan yang selalu berupaya memberikan harapan terhadap kehidupan bangsa ke depan. Ia menilai, masih ada calon pemimpin nasional yang dapat diharapkan. Masih ada orang-orang yang dapat membela panji-panji dan cita-cita kebangsaan. ”Harapan kita adalah muncul calon yang kira-kira bisa kita harapkan,” katanya.
Mochtar pun mencontohkan beberapa tokoh nasional yang masih dapat diharapkan untuk berdedikasi menjadi pemimpin nasional, seperti mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla atau Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD.
Menurut Mochtar, Jusuf Kalla merupakan contoh pejabat publik yang cepat dan berani memutuskan suatu kebijakan dan bertanggung jawab atas keputusan yang diambil. (Ferry Santoso)
 

haa iki : Dan, karena pembangunan ekonomi dianggap sebagai jawaban, logis saja jika jalannya pembangunan itu didasarkan pada diktum penalaran ilmu ekonomi

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2012/06/27/12470193/Doed.Joesoef.Jangan.Hanya.Membangun.Ekonomi

Doed Joesoef: Jangan Hanya Membangun Ekonomi
Heru Margianto | Rabu, 27 Juni 2012 | 12:47 WIB

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY : Daoed Joesoef. 
 
KOMPAS.com - Bangsa Indonesia kini tengah mengalami multikrisis. Tidak hanya krisis di bidang ekonomi, tetapi juga di bidang politik, sosial, dan kultural. Tantangannya adalah bagaimana memecahkan persoalan yang multikompleks ini.
”Sayangnya, para pemimpin negeri ini tidak, atau tidak mau, menyadari hal itu. Mereka menganggap kesulitan kita sekarang ini terjadi hanya karena ekonomi kita ini belum terbangun dengan baik. Akibatnya, perhatian hanya dipusatkan pada pembangunan ekonomi. Dan, karena pembangunan ekonomi dianggap sebagai jawaban, logis saja jika jalannya pembangunan itu didasarkan pada diktum penalaran ilmu ekonomi,” kata Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1978-1983).
Ia menambahkan, sesungguhnya, pendapat yang menyatakan bahwa pembangunan ekonomi dapat menyelesaikan persoalan yang dialami bangsa ini adalah pendapat yang picik.
Semasa menjadi anggota Kabinet Pembangunan III, kata Daoed Joesoef, dirinya sudah mengingatkan Presiden Soeharto bahwa pembangunan yang berorientasi pada ekonomi itu akan gagal. Namun, itu tidak ditanggapi.
”Yang saya herankan adalah Orde Reformasi itu mengkritik pembangunan ekonomi yang dilakukan Orde Baru, bahkan kemudian juga menjatuhkannya, tetapi tetap meneruskan kebijakan Orde Baru di bidang yang dikritiknya,” ujarnya.
Daoed Joesoef mengemukakan, ia menaruh harapan tinggi ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono terpilih. Persoalannya, Boediono, pada waktu menjadi dosen, bersama Profesor Mubyarto (almarhum) ikut menggagas ekonomi Pancasila. ”Saya pikir pada saat menjadi wakil presiden, ia akan menerapkan ekonomi Pancasila mengingat zaman dulu mungkin ia tidak mempunyai kesempatan untuk menerapkan gagasannya itu. Namun, ternyata kini, ia juga tidak menerapkannya,” katanya menambahkan.
Menurut Daoed Joesoef, seharusnya yang dilakukan adalah pembangunan nasional yang mencakup semua bidang. Untuk itu, Presiden Soekarno sudah mendirikan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Memang, Bappenasnya ada, orang-orang yang bekerja di sana ada, tetapi yang dijalankan adalah pembangunan ekonomi. Pembangunan nasional direduksi menjadi pembangunan ekonomi.
Pembangunan nasional itu meningkatkan kehidupan manusia (to enrich man) dan itu tidak hanya dalam artian materi. Jadi tidak hanya meningkatkan ekonomi di mana manusia itu hidup. ”Dulu, ini yang saya ingatkan kepada Pak Harto. Nah, Pak Harto berang sehingga saya dikeluarkan dari kabinet,” katanya.
Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, janji yang diberikan kepada rakyat Indonesia adalah mereka akan mengalami kehidupan yang lebih baik dan lebih dihargai sebagai manusia. Namun, pembangunan ekonomi itu tidak berbuat demikian karena ekonomi itu mereduksi multiaspek dari manusia.
”Resep itu sudah begitu jelas, ukuran yang digunakan adalah produk nasional bruto (GNP). Jadi, kalau GNP naik, itu dianggap kesejahteraan naik dan rakyat makmur. Padahal, kan, tidak seperti itu. Jadi rakyat di daerah itu melihat bumi mereka dieksploitasi supaya GNP naik, tetapi mereka tidak dapat apa-apa. Mereka hanya jadi penonton. Bumi mereka dikorek, hutannya dibabat,” tuturnya.
Ekonomi moneter
Walaupun Daoed Joesoef pernah menjabat sebagai Mendikbud, sejatinya pada tahun 1960-an ia satu-satunya dosen moneter di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE-UI).
Keahlian moneter inilah yang antara lain menjadikan dia dapat memiliki rumah di atas tanah seluas 8.500 meter persegi. Semula ia hanya membeli yang di atas saja. Di dekatnya ada tanah milik Departemen Keuangan (Depkeu) yang sedianya disiapkan untuk rumah bagi pegawainya. Namun, pegawai Depkeu tidak tertarik tinggal di wilayah itu karena transportasi ke wilayah itu masih sulit.
”Oleh karena saya meng-up grade pengetahuan mereka (Depkeu) tentang bagaimana menghitung GNP, produk domestik bruto (GDP), dan lain-lain, saya ditawari untuk membeli tanah Depkeu. Kebetulan istri saya (Sri Soelastri) senang bertaman, maka saya beli tanah itu,” kisahnya.
Kemudian, Daoed Joesoef juga membeli sawah petani yang terletak di belakang. Istrinya pernah menanam padi di sana. ”Totalnya saya memiliki 10 sertifikat,” ujarnya.
Tahun 1964, ia dan keluarga pergi ke Paris, Perancis. Ia menempuh pendidikan di Universite Pluridisciplinaires de Paris I, Pantheon-Sorbonne (1964-1972). Sewaktu pergi, tanahnya tidak dipagari karena keterbatasan uang. Ketika kembali ke Tanah Air tahun 1973, tanahnya sudah diduduki orang, termasuk di antaranya oleh militer. ”Saya terpaksa mengeluarkan uang dari tabungan untuk memindahkan orang-orang tersebut. Tahun 1975, urusan itu bisa diselesaikan,” ucapnya. Tahun 1978, ia diangkat oleh Presiden Soeharto menjadi Mendikbud.
Putrinya, Sri Sulaksmi Damayanti (Yanti), doktor dalam bidang mikrobiologi, menjadi dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB). Namun, 8 tahun lalu, Yanti mengundurkan diri karena menganggap IPB kehilangan idealisme dengan mendukung Badan Hukum Pendidikan, yang memungkinkan universitas mengambil pungutan lebih besar dari mahasiswa.
Yanti bersama rekan-rekannya kemudian membangun sekolah dasar di halaman rumahnya, yang diberi nama SD Kupu-Kupu yang merupakan lanjutan ideal dari TK Kepompong yang letaknya tidak jauh. Dua tahun lalu, tokoh pendidikan Arief Rahman mendatangi Daoed Joesoef untuk meminta izin mendirikan SMP dan SMA Garuda. Daoed Joesoef setuju asalkan administrasinya terpisah dengan SD Kupu-Kupu.
Membaca buku
Daoed Joesoef menghabiskan waktunya dengan membaca buku. Ia mengemukakan, ”Membaca itu kebutuhan buat saya, dan bukan hobi.”
Kebiasaan itu dibangkitkan ibundanya, yang dipanggilnya ”Emak”. Ibundanya rela memberikan tambahan uang saku untuk meminjam buku di perpustakaan swasta. Soalnya, buku di Balai Pustaka kurang lengkap.
Di malam-malam tertentu, terutama saat bulan purnama, ia diminta untuk menceritakan isi buku yang dibacanya di depan sanak keluarga. Salah satu buku yang dibacanya adalah karangan Jules Verne tentang perjalanan manusia ke Bulan. ”Lucunya saat saya bercerita, seorang paman bertanya, kalau orang belum pernah ke Bulan, bagaimana dia tahu bahwa tempat yang didatanginya adalah Bulan. Pikirannya sederhana, tapi logis,” ceritanya.
”Kata Emak, kalau menceritakan apa yang kamu ketahui kepada orang lain, kamu tidak akan kehilangan apa-apa,” kata Daoed Joesoef. Dan, itu pula yang menjelaskan mengapa Daoed Joesoef senang menulis. Pamannya, Soelaiman, mendesak ibundanya untuk mengikutsertakan putranya dalam kursus mengetik dengan 10 jari.
Uniknya, sampai sekarang ia tetap menggunakan mesin tik. Kalau tidak mendengar suara mesin ketik… tik… tik… tik... seperti hujan rintik-rintik, ide-idenya tidak keluar. Ia mengatakan, ”Cucu selalu menertawakan saya. Dia bilang, saya kuno. Saya jawab, emang saya kuno... he-he-he.”
Kegemaran menulis ini mendekatkan dirinya dengan Mohammad Hatta. Sebagai mahasiswa, ia pernah seperti bersahut-sahutan tulisan dengan Bung Hatta soal moneter. Khususnya tentang rasionale dari keberadaan jaminan emas wajib dan masalah stabilitas moneter yang berkaitan dengan itu.
Tulisan pertama adalah wawancara Bung Hatta yang ditulis di harian Pedoman, 25 Februari 1955. Daoed Joesoef menanggapinya dengan menurunkan artikel di majalah Mimbar Indonesia.
Sebulan kemudian, ia diundang untuk turut serta dalam rombongan Wakil Presiden Hatta meninjau perekonomian di daerah Cirebon, Tegal, dan Pekalongan. Ia dari FE-UI diundang bersama dua mahasiswa lagi, dari Fakultas Pertanian UI Bogor (sekarang IPB) dan FE Universitas Gadjah Mada. Dalam perjalanan itu, Bung Hatta mengajaknya berdebat. Hasilnya, keduanya sepakat untuk tidak sepakat, dan Bung Hatta tidak keberatan dengan itu.
Ia menceritakan, visi besar Bung Hatta lewat ungkapan yang sesekali dilontarkannya. Walaupun Bung Hatta seorang ekonom, ia mengutip ucapan Charles Fourier, seorang sosialis Perancis yang berbunyi, ”Kami mau membangun satu dunia yang di dalamnya semua orang hidup bahagia.”
Bahagia ini, kata Daoed Joesoef, tidak ada dalam kamus ekonomi. Yang ada welfare (sejahtera), yang ukurannya GNP. Sayangnya, ia tidak sempat bertanya kepada Bung Hatta apa ukuran dari bahagia.
Selain menulis, ia juga mengisi waktu luang dengan melukis sketsa. Kemahiran melukis sketsa dimulainya dari sebelum sekolah. Bahkan, ada masa ia hidup dengan menjual sketsa, atau melukis iklan film di bioskop Grand dan panggung pertunjukan Miss Tjitjih. Ia bercerita dengan sangat lancar, dengan bahasa gado-gado, Inggris, Belanda, Perancis, dan Indonesia tentunya.
Dalam soal lukisan ini, semasa merantau di Yogyakarta, saat SMA, ia bertemu Bung Karno, Bung Sjahrir, dan Bung Hatta, yang ditemuinya lagi sewaktu kuliah di FE-UI. Ia amat terkesan dengan pemahaman Sjahrir tentang lukisan. (James Luhulima)
 

Senin, 18 Juni 2012

haa iki : Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada perbedaan pendapat tentang status kejahatan homoseksual dan lesbianisme. Bahwa, keduanya merupakan kejahatan seksual yang sangat bejat dan berat hukumannya dalam Islam.

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/12/06/16/m5pxhy-lesbianisme-dan-liberalisme

Lesbianisme dan Liberalisme

Sabtu, 16 Juni 2012, 23:22 WIB
www.insan-awam.blogspot.com

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Qosim Nurseha*

Kesetaraan gender, homoseksualitas, dan lesbianisme adalah sejumlah paham dan praktik kehidupan yang gigih disebarkan oleh kaum liberal di berbagai penjuru dunia, termasuk di Indonesia. Dengan membonceng wacana “kebebasan berekspresi” (freedom of expression), mereka terus meneriakkan perlunya dilakukan legalisasi praktik homoseksualitas dan lesbianisme.

Untuk itu, mereka menyatakan bahwa setiap orang berhak menyalurkan hasrat seksualitasnya kepada siapa saja, termasuk kepada “sesama jenis” (laki-laki dengan lakilaki (homo) maupun perempuan dengan perempuan (lesbi). Sebagian lain sudah “lebih maju” lagi, mengampanyekan perlunya pelampiasan seks manusia dengan binatang.

Maka, tidaklah mengherankan, kedatangan pegiat dan praktisi lesbianisme, Irshad Manji, di Indonesia (pada 2008 dan 2012) mendapatkan dukungan luas oleh kaum liberal dan media massa nasional. Di sebuah Jurnal Perempuan, Irshad Manji diberi julukan sebagai “Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad!”

Sayangnya, para pendukung legalisasi perkawinan sesama jenis (homo dan lesbi) biasanya “mencatut” nama-nama ulama Muslim untuk membenarkan pandangannya. Tujuannya untuk menjadikan pandangan mereka seolah-olah mempunyai landasan dalam Islam. Salah satu dari ulama yang dicatut namanya adalah Syihabuddin Ahmad al- Tifasyi (w 560 H/1184 M) dari Tunisia, penulis buku Nuzhat al-Albab fima la Yujad fi al-Kitab, (London-Cyprus: Riad El-Rayyes Books, cet I, 1992).

Kata seorang penulis liberal, dalam bukunya tersebut, al-Tifasyi disinyalir mendukung praktik homoseksualitas dan lesbianisme dengan satu pendapatnya, “al-sahq syah wa thabi’iyyah” (“les bian merupakan hasrat seksual yang normal”). Padahal, kata al-Tifasysi sendiri, itu adalah pendapat sebagian orang. (Nuz- hat al-Albab,hal 236).

Lebih dari itu, al-Tifaysi sendiri, dalam bukunya tersebut mencatat pendapat-pendapat yang mencela lesbianisne ( dzamm al-sahq). Karena, hal itu abnormal.

Di sana dicatat bahwa salah seorang “lesbian” berkirim surat kepada kekasihnya sesama lesbian. Dia menyatakan bahwa selama ini yang dia rasakan tidak sempurna. Setelah menikmati bagaimana nikmatnya berhubungan dengan laki-laki, dia tidak ingin melepaskannya. Kemudian dia mengakhiri suratnya dengan, “Keluarkanlah rasa cintamu kepadaku dari dalam hatimu. Aku telah meletakkan ‘sesuatu’ untuk menggantikan cintamu dalam hatiku. Dan, dia tidak akan keluar (hilang) kecuali bersama nyawa.” Di sana ada cerita lain bahwa seorang lesbian ditanya, “Bagaimana malammu kemarin?” Dia menjawab, “Aku sangat selera makan daging sejak 20 tahun. Aku tidak merasa kenyang memakannya, kecuali tadi malam.” Disebutkan pula bahwa seorang lesbian takjub melihat seorang laki-laki dan akhirnya dia menikahi laki-laki terse but. (al-Tifaysi, Nuz hat al-Albab, hal 245-246).

Sayangnya, pandangan al-Tifasyi yang terang-benderang itu luput dari penglihatan kaum liberal. Karena, tujuan mereka memang hanya mencari pendapat dan legitimasi yang sesuai dengan pandangan mereka meskipun pendapat dan pandangan tersebut lemah bahkan tidak benar (palsu). Terang saja hal ini tidak dapat dibenarkan, khususnya dalam dunia ilmiah.

Selain menyelewengkan pendapat al-Tifasyi, kaum liberal juga biasanya “mengkritik” kisah Nabi Luth beserta kaumnya yang mengidap penyakit sek ual menyimpang (homo). Di mana menurut mereka, azab yang menimpa kaum Luth tidak semata-mata karena praktik seksualitas mereka yang menyimpang itu. Kaum Luth diazab oleh Allah, kata mereka, adalah karena “kekafiran”. Anehnya, kaum liberal tidak mau mengulas dan melihat kisah nabi Luth dengan kaumnya itu dari sudut fiqh melainkan dari sisi sastra seperti yang dilakukan, misalnya, oleh jurnal Perempuan.

Dalam bukunya, Allah, Liberty, and Love, Irshad Manji juga memanipulasi penafsiran kisah Luth dalam Alquran. Katanya, “Cerita Sodom dan Gomorah— kisah Nabi Luth dalam Islam—tergolong tersirat (ambigu). Kau merasa yakin kalau surat ini mengenai homoseksual, tapi sebetulnya bisa saja mengangkat perkosaan pria “lurus” oleh pria “lurus” lainnya sebagai penggambaran atas kekuasaan dan kontrol. Tuhan menghukum kaum Nabi Luth karena memotong jalur perdagangan, menumpuk kekayaan, dan berlaku tidak hormat terhadap orang luar.”

Mengenai kisah Nabi Luth beserta kaumnya, penting untuk mencermati pandangan pakar tafsir Muhammad Rasyid Ridha di bawah ini. Setelah memberikan contoh ayat-ayat kisah “hujan batu” – salah satunya yang diminta oleh kafir Quraisy dalam QS al-Anfal:32 — Ridha menyatakan, “Kita percaya dengan ayat-ayat ini, seperti yang ada dalam surah-surah Alquran.” (Rasyid Ri d ha, Tafsir al-Manar, QS al-Anfal:518). “Dan, ketika Allah membalikkan negeri mereka (di mana bagian atasnya men jadi bagian bawah) terjadi,” menurut Ridha, berdasarkan sunah Ilahi; baik nyata maupun secara rahasia ( al-sunan al-ilahiyyah al-jaliyyah aw al-khafiyyah) tidak menafikan posisinya sebagai satu ayat. ( Tafsir al-Manar, VIII: 819).

Ketika menafsirkan akhir ayat dari QS al-Anfal:84 itu, Rasyid Ridha menyatakan, “Seruan ini umum, meliputi orang-orang yang mendengar kisah (tentunya termasuk kita, yang membaca Alquran—Red) ini, yakni orang-orang yang mau berpikir dan mengambil pelajaran. Dan, tambah Ridha, ganjaran dari orang-orang pelaku kriminal adalah hukuman, di dunia sebelum akhirat ....” ( Tafsir al-Manar,VIII: 519).

Masih menurut Ridha, para ulama berijmak (bersepakat) bahwa “homo seks” ( al-liwathah) adalah maksiat paling besar makanya Allah menyebutnya dengan perbuatan keji (fahisyah). Banyak hadis-hadis yang melaknat pelakunya, seperti dalam Imam al- Nasa’i dan Imam Ibn Hibban serta disahihkan oleh Imam al-Thabrani dan al- Bayhaqi. Sebagian lagi disahihkan oleh al-Hakim. Ala kulli, semuanya saling menguatkan dalam hal yang sudah dikenal secara otomatis dalam agama (al-ma‘lum min al-din bi al-dharurah).

Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan satu hadis Rasulullah yang berbunyi, “Satu hal yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah: perbuatan kaum Luth.” Hadis ini disahihkan oleh Imam al-Hakim, sementara menurut Imam al- Tirmidzi sendiri dinilai sebagai hadis hasan gharib. ( Tafsir al-Manar,VIII: 519). Ini tentunya bertolak belakang dengan pernyataan salah seorang aktivis liberal, yang mengutip Muhammad Galal Kisyk dalam bukunya Khawthir Muslim fi Mas’alah Jinsiyyah (Cairo: Maktabah al- Turats al-Islami, 1995), yang menyatakan bahwa menurut al-Tirmidzi hadis tersebut adalah gharib.

Kita berharap siapa pun juga, apa lagi yang mengaku Muslim, untuk berlaku jujur dan adil serta hati-hati dalam menyampaikan tentang hukum agama, seperti homoseksualitas dan lesbianisme. Sepanjang sejarah Islam tidak pernah ada perbedaan pendapat tentang status kejahatan homoseksual dan lesbianisme. Bahwa, keduanya merupakan kejahatan seksual yang sangat bejat dan berat hukumannya dalam Islam.


* Penulis adalah alumnus Pascasarjana ISID-Gontor Ponorogo


Jumat, 08 Juni 2012

haa iki : Tandingi iOS, Samsung Berinvestasi untuk Linux

Aditya Panji | Reza Wahyudi | Jumat, 8 Juni 2012 | 06:56 WIB
 
TizenTalk.com
Smartphone yang berjalan dengan Tizen, sebuah sistem operasi mobile baru berbasis kernel Linux, yang saat ini dikembangkan oleh Samsung, Intel dan Linux
KOMPAS.com - Samsung menyatakan bergabung dengan Linux Foundation dan langsung menjadi donatur tingkat Platinum. Tingkat ini merupakan level tertinggi dalam struktur keanggotaan yang mewajibkan donasi 500 ribu dollar AS per tahun.

Investasi Samsung di Linux Foundation, membuat perusahaan asal Korea Selatan itu duduk di dewan yayasan dan memungkinkan pengawasan lebih besar dalam proyek Linux, termasuk sistem operasi mobile Tizen, yang baru saja lahir dari hasil kerjasama antara Samsung, Intel, dan Linux.

Tizen, yang merupakan sistem operasi mobile open source, disebut-sebut akan menjadi alternatif setelah iOS dari Apple dan Android dari Google. Tizen dan Android menggunakan kernel yang sama, yakni Linux.

Menurut juru bicara Linux Foundation, langkah Samsung yang sangat mendukung Android dan Tizen ini, seakan menyerang posisi Apple.

"Setelah baru saja mengalahkan Nokia sebagai produsen ponsel terbesar di dunia, sekarang jelas bahwa Samsung mencoba menyerang Apple dengan kedua sistem operasi kernel Linux," ujar juru bicara.

Menyadari bahwa Samsung tak bisa terus menerus bergantung pada Android, mereka mencari alternatif baru yang bisa menantang iOS. Karena itulah, Samsung berani berinvestasi besar di Lunux demi penelitian dan pengembangan Tizen.
Sumber :