Mantan menko ekuin Kwik Kien Gie mencermati skandal Centurygate dan
para pelaku utamanya. Berikut ini catatan kritisnya: Mundurnya Sri
Mulyani Indrawati (SMI) sebagai Menteri Keuangan RI menimbulkan
kehebohan dan banyak pertanyaan tentang penyebab yang sebenarnya. Ada
yang mengatakan bahwa perpindahannya pada pekerjaan yang baru di World
Bank (WB) adalah hal yang membanggakan. Tetapi ada yang berpendapat,
bahkan berkeyakinan tidak wajar, terutama kalau dikaitkan dengan skandal
Bank Century (Century).
Saya (Kwik Kian gie) termasuk yang berpendapat, bahkan yakin sangat tidak wajar. Alasan-alasan saya sebegai berikut.
Beberapa ungkapan dan pernyataan dalam berbagai pidato perpisahannya
mengandung teka-teki dan mengundang banyak pertanyaan, yaitu : “Jangan
ada pemimpin yang mengorbankan anak buahnya.” “Saya tidak bisa didikte”.
“Saya menang”. “Saya tidak minggat, saya akan kembali”.
Dalam pidato serah terimanya kepada Menkeu yang baru menangisnya
tidak wajar, berkali-kali dan sangat-sangat sedih. Lucu, menyatakan
menang kok menangis sampai seperti itu. Juga sangat tidak wajar adanya
sikap yang demikian fanatiknya dari staf Departemen Keuangan dengan
ungkapan belasungkawa, seolah-olah SMI sudah meninggal.
SMI sedang diperiksa oleh KPK sebagai tindak lanjut dari
penyelidikan tentang skandal Century. Dalam proses yang sedang berjalan,
Bank Dunia menawarkan jabatan dengan dimulainya efektif pada tanggal 1
Juni 2010. Bank Dunia yang selalu mengajarkan good governance dan
supremasi hukum ternyata sama sekali tidak mempedulikan adanya proses
hukum yang sedang berlangsung terhadap diri SMI.
Menurut Jakarta Post, yang memberitakan melalui siaran pers
tentang pengangkatan SMI sebagai managing director di WB adalah WB
sendiri. Setelah itu, melalui wawancara barulah SMI mengakui bahwa
berita itu benar. Itu terjadi pada tanggal 4 Mei 2010.
Juru bicara Presiden memberi pernyataan bahwa Presiden SBY akan
memberi konperensi pers setelah memperoleh ketegasan dari Presiden WB
Robert Zoelick. Namun sehari kemudian diberitakan bahwa SBY telah
menerima surat dari Presiden WB pada tanggal 25 April 2010. Mengapa SBY
merasa perlu berpura-pura seperti ini ?
Dalam konperensi persnya, SBY memuji SMI sebagai salah seorang
menteri terbaiknya yang disertai dengan rincian prestasi dan
capaian-capaiannya. Tetapi justru dengan bangga melepaskan SMI supaya
tidak melanjutkan baktinya kepada bangsa Indonesia.
SMI diberi waktu 72 jam untuk memberikan jawabannya menerima atau
menolak tawaran WB. Tetapi SMI tidak membutuhkan waktu itu, karena dalam
24 jam langsung saja memberikan jawaban bahwa dirinya menerima tawaran
itu. Dan antara penerimaan tawaran dan efektifnya dia berfungsi di WB
hanya 25 hari. Seorang sopir saja membutuhkan waktu transisi yang lebih
lama untuk majikannya perorangan. Tetapi SMI dan SBY merasa tidak
apa-apa kalau jangka waktu tersebut hanyalah 25 hari.
Mustahil bahwa WB yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia
tidak mengetahui dan tidak mengikuti bekerjanya Pansus Century di DPR.
Mustahil juga bahwa kantor perwakilan WB di Jakarta dan kantor pusatnya
tidak mengetahui isi dari Laporan BPK. Dengan sendirinya juga mustahil
bahwa WB tidak mengetahui bahwa sampai dibuktikan sebaliknya, SMI memang
belum bersalah, tetapi jelas bermasalah yang masih dalam proses
penyelesaian dan kejelasan oleh KPK.
Tetapi WB yang di seluruh dunia mengumandangkan dan mengajarkan
Good Governance dan jagoan dalam menegakkan supremasi hukum melakukan
penginjak-injakan proses hukum yang sedang berjalan di KPK.
Ketika itu, tindakan WB jelas melecehkan dan bahkan menganggap
keseluruhan proses yang telah berjalan di Pansus Century DPR RI sebagai
tidak ada atau hanya dagelan saja. Maka sangatlah menyedihkan bahwa
sikap yang demikian oleh WB didukung oleh Presiden RI, sedangkan SMI
bersikap tidak akan ada siapapun di Indonesia yang bisa menyentuhnya
selama WB ada di belakangnya.
Ketika berita itu meledak, banyak orang termasuk saya sendiri yang
bertanya-tanya, apakah pengangkatannya ini tidak akan menimbulkan
gejolak. Ternyata sama sekali tidak. Dalam waktu 10 hari sudah tidak ada
lagi yang berbicara dengan nada kritis. Sebaliknya, banyak sekali yang
berbicara dengan nada memuji.
Yang lebih mengejutkan lagi iyalah praktis tidak ada elit politik
Indonesia yang marah kepada WB. Sebaliknya, dalam konperensi persnya
Presiden RI SBY merasa berterima kasih kepada WB yang telah memberikan
penghargaan kepada Indonesia, karena telah sudi memungut SMI menduduki
jabatan yang terhormat di WB sebagai Managing Director.
Ada suara dari DPR, terutama dari Faisal Akbar (Hanura) yang
menyerukan agar SMI dicekal sebelum pemeriksaannya oleh KPK tuntas
dengan kesimpulan bahwa SMI memang bersih dalam kebijakannya bailout
Century. Namun pernyataan yang sangat logis ini tidak bergaung. Respons
dari KPK justru mengatakan bahwa pemeriksaan dapat dilanjutkan di
Washington, DC. Langsung saja muncul reaksi yang mengatakan bahwa
pemeriksaan semacam ini akan sangat mahal, karena jaraknya yang jauh,
dan juga akan terkendala oleh tersedianya dokumen-dokumen yang
dibutuhkan. Saya sendiri tidak dapat membayangkan bahwa WB akan
mengizinkan adanya seorang managing director–nya diperiksa oleh KPK di
markas WB di Washington, DC.
Tadinya saya berpikir bahwa kalau dilakukan, pemeriksaan seorang
managing director oleh KPK di Washington, DC pasti akan menarik
perhatian pers internasional. Ternyata salah. Kenyataan adanya
pengangkatan seorang MD WB yang bermasalah sama sekali tidak menarik
perhatian pers internasional, terutama pers AS. Masih segar dalam
ingatan kita betapa hebohnya reaksi pers internasional ketika Paul
Wlfowitz terlibat skandal, sehingga memaksanya mengundurkan diri. Apa
artinya ? Begitu hebatkah SMI, atau begitu remehnya bangsa Indonesia di
mata pers internasional, sehingga peristiwa Century yang sedang
berlangsung dianggap tidak ada ?
Episode paling akhir dari hijrahnya SMI ke WB adalah penampilan
SMI dalam pertemuan-pertemuan perpisahan. Pidatonya yang mendapat tepuk
tangan sambil berdiri (standing ovation) dari orang-orang seperti
Gunawan Mohammad, Marsilam Simanjuntak, Wimar Witoelar mengundang
renungan apa gerangan yang ada di belakang ucapannya yang hanya sepotong
tanpa penjelasan lanjutannya itu ? Yaitu : “Saya menang”, “Jangan lagi
ada pemimpin yang tidak melindungi atau mengorbankan anak buahnya.” “I
will come back” yang sangat mirip dengan ucapan Mac Arthur : “ I shall
return”. Akankah SMI membentuk semacam pemerintahan in exile yang akan
kembali menjadi Presiden RI ? Sudah ada yang menyuarakan bahwa SMI-lah
yang paling cocok untuk menjadi Presiden RI di tahun 2014.
Di satu pihak demikian gagah beraninya sikap yang ditunjukkan oleh
SMI dalam beberapa pidatonya, tetapi beliau menangis berkali-kali
dengan wajah yang sangat-sangat sedih ketika berpidato dalam acara serah
terima jabatan kepada Menteri Keuangan yang baru. Ada apa ? Sedihkah ?
Menurut SMI sendiri tidak, dia menangis karena merasa “plong”, merasa
lega. Bukankah orang menangis karena sedih atau karena terharu ? Kalau
lega, apalagi “plong” biasanya bersorak sorai.
Apa pula yang menyebabkan Presiden SBY menghapus pengangkatan
Anggito Abimanyu sebagai Wakil Menteri Keuangan tanpa yang bersangkutan
diberitahu sebelumnya. Anggito mengetahuinya dari media massa seperti
kita semua. Maka demi harga diri profesional, dia mengundurkan diri,
membuang semua karir cemerlang yang dijalaninya. Demikian kejam,
manipulatif, raja tega, main diktator, ataukah ada kekuatan besar, ada
big stream that Presdient SBY can not resist ?
Metaforsa Berkeley Mafia Menjadi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB)
Fenomena adanya sekelompok ekonom yang dikenal dengan sebutan
Berkeley Mafia sudah kita ketahui. Aliran pikiran yang dihayati oleh
kelompok ini juga sudah kita kenali. Komitmennya membela rakyat
Indonesia ataukah membela kepentingan-kepentingan yang diwakili oleh 3
lembaga keuangan internasional (Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan
IMF) juga sudah diketahui oleh masyarakat luas.
Pembentukan kelompok yang terkenal dengan nama Berkeley Mafia
sudah dimulai sejak lama. Namanya menjadi terkenal dalam Konperensi
Jenewa di bulan November 1967 yang akan diuraikan lebih lanjut pada
bagian akhir tulisan ini.
Awalnya kelompok ini adalah para ekonom dari FE UI yang
disekolahkan di Universitas Berkeley untuk meraih gelar Ph.D. Tetapi
lambat laun menjadi sebuah Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang sangat
kompak dan kokoh ideologinya. Ideologinya mentabukan campur tangan
pemerintah dalam kehidupan ekonomi.
Afiliasinya dengan kekuatan asing yang diwakili oleh Bank Dunia,
Bank Pembangunan Asia dan IMF, sehingga sangat sering memenangkan
kehendak mereka yang merugikan bangsanya sendiri. Lambat laun para
anggotanya meluas dari siapa saja yang sepaham. Banyak ekonom yang tidak
pernah belajar di Universitas Berkeley, bahkan tidak pernah belajar di
UI menjadi anggota.
Mereka membentuk keturunan-keturunannya
Anggotanya ditambah dengan para sarjana ilmu politik dari Ohio
State University dengan Prof. Bill Liddle sebagai tokohnya, karena dia
merasa dirinya “Indonesianist” dan diterima oleh murid-muridnya sebagai
akhli tentang Indonesia. Paham dan ideologi yang dihayatinya sama.
Kemudian diperkuat dengan orang-orang yang merasa dirinya paling
pandai di Indonesia, sedangkan rakyatnya masih bodoh. Sikapnya seperti
para pemimpin dan kader Partai Sosialis Indonesia (PSI) dahulu, yang
dipimpin oleh Sutan Sjahrir. Kecenderungannya memandang rendah dan sinis
terhadap bangsanya sendiri, dengan sikap yang selalu tidak mau menjawab
kritikan terhadap dirinya, melainkan disikapi dengan senyum yang khas,
bagaikan dewa yang sedang tersenyum sinis.Sikap ini terkenal dengan
sikap “senyum dewata”. Dengan senyum dewata banyak masalah sulit yang
sedang menggantung memang menjadi lenyap.
Dengan demikian sebutan Berkeley Mafia sebaiknya diganti dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).
Ilustratif tentang adanya OTB ini adalah pidato Dorodjatun
Kuntjorojakti yang pertama kali dalam forum CGI sebagai Menko
Perekonomian dalam kabinet Megawati. Kepada sidang CGI diberikan
gambaran tentang perekonomian Indonesia. Setelah itu dikatakan olehnya
bahwa dia mengetahui kondisi perekonomian Indonesia dengan cepat karena
dia selalu asistennya Prof. Ali Wardhana dan dekat dengan Prof. Widjojo
Nitisastro. Selanjutnya dikatakan bahwa “dirinya bukan anggota partai
politik. Tetapi kalau toh harus menyebut organisasinya, sebut saja
Partai UI Depok”. Setengah bercanda, setengah bangga, secara tersirat
Dorodjatun mengakui bahwa OTB memang ada, pandai, profesional dan
berkuasa.
Kaitan Sri Mulyani Indrawati (SMI), Peran Kelompok “Berkeley
Mafia” danPengangkatannya sebagai Managing Director di Bank Dunia
Jauh sebelum SMI menjadi “orang”, Berkeley Mafia sudah lahir dan
sangat instrumental buat kekuatan asing. SMI adalah salah satu kader
yang berkembang menjadi “Don”.
Marilah kita telusuri sejarahnya. Pencuatan Berkeley Mafia yang
pertama kali dan fenomenal terjadi di Jenewa di bulan November 1967,
ketika mereka mendukung atau lebih tepat “mengendalikan” pimpinan
delegasi RI, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Adam Malik. Tentang
hal ini akan saya kemukakan pada bagian akhir tulisan ini dengan
mengutip John Pilger, Jeffrey Winters dan Bradley Simpson yang akan
diuraikan pada bagian akhir tulisan ini. Kita fokus terlebih dahulu pada
jejak dan track record SMI.
Jejak SMI dan Track Recordnya sebagai Kader OTB yang sangat Gigih dan Militan
SMI adalah orang yang sejak awal sudah disiapkan sebagai kader
yang militan dari OTB. Seperti yang lain-lainnya, karir dimulai dari
FE-UI. Karirnya yang menonjol tidak sebagai dosen, tetapi sebagai
Direktur Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat UI (LPEM UI). Tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa FE UI dan Departemen Keuangan adalah
pusat pengkaderan OTB.
Ketika sudah terlihat jelas bahwa PDI-P akan menang dalam pemilu
tahun 1999, dan Ketua Umumnya Megawati diperkirakan pasti akan menjadi
Presiden, Kongres-nya di Bali menarik perhatian dari seluruh dunia. Saya
terkejut melihat SMI, Dr. Sjahrir almarhum dan teknokrat Berkeley Mafia
lainnya hadir dalam Kongres tersebut yang mendapat tempat khusus di
stadion berlangsungnya pidato pembukaan oleh Megawati, yaitu duduk di
kursi di bawah panggung.Tidak berdiri di depan panggung bersama-sama
dengan massa yang mendengarkan pidato Ketua Umum PDI-P.
Buat saya sangat mengherankan karena Berkeley Mafia adalah arsitek
pembangunan ekonomi di era Soeharto yang dengan sendirinya bersikap
berseberangan dan sangat melecehkan serta memandang rendah PDI-P.
Mengapa mereka sekarang hadir dalam Kongres PDI-P ? Ternyata mereka
dibawa oleh orang yang ketika itu sangat dekat dengan Megawati. Mereka
diperkenalkan kepada Megawati sebagai calon-calon menteri dalam Kabinet
Mega nantinya.
Dari sini sangatlah jelas bahwa buat OTB, yang penting memegang
kekuasaan ekonomi tanpa peduli siapa Presidennya dan tanpa peduli apa
ideologi Presidennya. Mereka mempunyai organisasi sendiri yang saya
sebut OTB tadi dengan kekuatan dan pengaruh yang sangat besar. Sepanjang
32 tahun rezim Soeharto, mereka selalu memegang tampuk kekuasaan
ekonomi.
Ketika pak Harto mengundurkan diri dan digantikan oleh Habibie,
walaupun sudah tidak 100% lagi, kekuasaan ekonomi ada di tangan para
menteri OTB.
Sejak pak Harto berkuasa sampai dengan Megawati, dua Don dari OTB,
Widjojo Nitisastro dan Ali Wardhana selalu secara resmi penasihat
Presiden atas dasar Keputusan Presiden.
Habibie digantikan oleh Gus Dur sebagai Presiden. Dalam kabinet
Gus Dur tidak ada satupun menteri dari OTB. Menko EKUIN dipegang oleh
Kwik Kian Gie (KKG), Menteri Keuangannya Bambang Sudibyo, Menteri
Perdagangan dan Industri Jusuf Kalla. Tiga orang ini jelas tidak ada
sangkut pautnya dengan OTB dan sama sekali tidak dapat dipengaruhi oleh
OTB.
Dalam waktu singkat Gus Dur ditekan oleh kekuatan internasional
dan kekuatan para pengusaha besar di dalam negeri untuk memecat KKG.
Karena sudah lama bersahabat, Gus Dur menceriterakannya terus terang
kepada KKG, sambil mengatakan bahwa beliau telah mencapai kompromi
dibentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) dengan Emil Salim sebagai Ketua
dan SMI sebagai sekretarisnya. Di dalamnya ada beberapa anggota yang
hanya berfungsi sebagai embel-embel.
Mereka tidak pernah aktif kecuali SMI dan Emil Salim. DEN berhak
menghadiri setiap rapat koordinasi oleh Menko EKUIN. Sebelum dan setelah
KKG menjabat Menko EKUIN DEN tidak pernah ada. Jadi DEN memang khusus
diciptakan untuk menjaga, mengawasi dan memata-matai KKG supaya jangan
neko-neko terhadap OTB dan kepentingan World Bank, Bank Pembangunan Asia
dan IMF.
Dalam rapat koordinasi yang pertama KKG mengatakan kepada para
menteri yang ada dalam koordinasinya bahwa kita sedang berhadapan dengan
IMF yang mengawasi dengan ketat pelaksanaan Letter of Intent (LoI).
Banyak dari butir-butir dalam LoI yang merugikan bangsa Indonesia,
antara lain, bea masuk untuk impor beras dan gula harus nol persen,
sedangkan ketika itu produksi dalam negeri melimpah.
Maka KKG mengatakan supaya para menteri bersikap membela
kepentingan bangsa Indonesia, kalau perlu menelikung, menghambat atau
menyiasati LoI yang merugikan bangsa kita. Kalau mereka menghadapi
persoalan KKG sebagai Menko EKUIN akan bertanggung jawab. Beberapa hari
kemudian Emil Salim mendatangi KKG menegur dengan keras bahwa KKG tidak
boleh bersikap seperti itu. KKG harus taat melaksanakan semua butir yang
ada di dalam LoI, karena KKG sendirilah sebagai Menko EKUIN yang
menandatangani LoI.
Beberapa hari lagi setelah itu, Bambang Sudibyo (Menkeu), KKG dan
Emil Salim dipanggil oleh Gus Dur. Gus Dur mempersilakan Emil Salim
mengkuliahi KKG dan Bambang Sudibyo yang isinya tiada lain adalah
butir-butir dari LoI.
Mungkin dirasakan tidak mempan, sidang kabinet diselenggarakan
secara khusus yang agendanya tunggal, yaitu membahas LoI. Kepada setiap
menteri diberikan selembar formulir yang isinya butir-butir LoI yang
harus dilaksanakan oleh masing-masing menteri yang bersangkutan, dan
kemudian harus ditandatangani. Menteri-menteri menggerutu diperlakukan
seperti anak SD.
Dalam sidang kabinet itu, Mensesneg Bondan Gunawan membacakan
uraiannya tentang butir-butir LoI yang mutlak harus dilaksanakan oleh
setiap menteri, lengkap dengan slides. SMI hadir dalam sidang kabinet
itu. Seusai membacakannya, Bondan sambil berkeringat menggerutu kepada
KKG sambil mengatakan “diamput” bahwa dirinya tidak mengerti ekonomi kok
disuruh memaparkan hal-hal seperti itu. Ketika KKG menanyakannya siapa
yang membuatnya, dijawab singkat : SMI.
Sebagai Menko EKUIN KKG ex officio menjabat Ketua KKSK yang
memimpin dan memutuskan tentang rekapitalisasi bank-bank seperti yang
tercantum dalam LoI. Dalam rapat tentang rekap BNI sebesar Rp. 60
trilyun, LoI mengatakan bahwa rekap dilakukan dalam dua tahap. Tahap
pertama sebesar Rp. 30 trilyun, seluruh Direksi diganti dan dipantau
apakah bekerja dengan baik menurut ukuran IMF. Kalau ya, maka Rekap.
kedua sebesar Rp. 30 trilyun dilakukan.
Darmin Nasution yang ketika itu Direktur di Kementerian Keuangan
hadir mewakili Depkeu. Dia mengusulkan supaya Rekap. dilakukan sekaligus
saja sebesar Rp. 60 trilyun, agar pemerintah tidak perlu dua kali minta
izin/melaporkan kepada DPR. SMI yang hadir protes, mengatakan bahwa
dalam LoI tercantum Rekap. dalam dua tahap. KKG merasa usulan Darmin
Nasution masuk akal. Maka diputuskan olehnya bahwa Rekap. dilakukan
sekaligus. Terlihat SMI sibuk dengan HP-nya.
Seusai rapat, begitu KKG tiba di ruang kerjanya dari ruang rapat,
telpon berdering dari John Dordsworth, Kepala Perwakilan IMF di Jakarta
yang marah-marah karena KKG memutuskan tentang Rekap. BNI yang
bertentangan dengan ketentuan LoI. Begitu telpon diletakkan telpon
bordering lagi dari Bambang Sudibyo yang menceriterakan bahwa dirinya
baru dimarah-marahi oleh Mark Baird, Kepala Perwaklian Bank Dunia di
Jakarta tentang hal yang sama.
Sangat jelas tugas SMI ternyata melaporkan segala sesuatu yang
dilakukan oleh Pemerintah dan dianggap menyimpang dari yang dikehendaki
oleh IMF, walaupun yang dikehendaki oleh IMF merugikan bangsa Indonesia.
Peristwa selanjutnya adalah ketika KKSK harus merekap Bank
Danamon. Bank Danamon diwakili oleh Dirutnya, seorang Amerika bernama
Milan Schuster dan Direkturnya puteranya Ali Wardhana, Mahendra
Wardhana. Mereka mengemukakan bahwa Bank Danamon menderita kerugian
setiap bulannya dan CAR-nya juga di bawah 8%. KKG bertitik tolak dari
jumlah kerugian setiap bulannya.
Untuk menutup kerugian ini, surat utang pemerintah yang bernama
Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) yang harus diinjeksikan haruslah
Rp. X yang harus memberikan pendapatan bunga sebesar kerugian Bank
Danamon. Maka keluarlah angka Rp. 18 trilyun.
Dengan pendapatan bunga sebesar 1% sebulan dari OR yang Rp. 18
trilyun, kerugian Bank Danamon akan tertutup, atau Bank Danamon tidak
akan bleeding lagi. SMI langsung protes mengatakan bahwa menginjeksi OR
sebesar Rp. 18 trilyun berarti menjadikan CAR-nya sebesar 36%, sedangkan
LoI memerintahkan merekap bank-bank sampai CAR-nya menjadi 8% saja.
KKG tidak peduli, karena yang hendak dicapai adalah supaya Bank
berhenti merugi. Kalau rekap dilakukan dengan jumlah yang hanya cukup
untuk menjadikan CAR 8% saja, pendapatan bunganya akan jauh lebih kecil
daripada kerugiannya, sehingga rekapitalisasi tidak akan menghentikan
kerugian-nya (masih tetap bleeding).
Kebijakan KKG yang menyimpang dari LoI, tetapi jelas-jelas lebih
logis ini ternyata dilaporkan kepada IMF oleh SMI. Saya mengetahui
tentang hal ini, karena ketika melakukan kunjungan kehormatan pada
Menteri Keuangan Larry Summers di kantornya di Washington, DC, saya
diterima oleh Larry Summers sendiri sebagai Menteri Keuangan, didampingi
oleh Timothy Geithner selalu Deputy-nya plus beberapa pejabat tinggi
lainnya yang memarahi KKG bahwa KKG selalu menelikung LoI-nya IMF.
Ketika saya tanyakan tentang apa konkretnya sebagai contoh, dia
menceriterakan persis seperti yang dikatakan oleh SMI dalam rapat KKSK.
Selaku Menko EKUIN KKG harus memimpin delegasi RI ke Paris Club
untuk berunding tentang penjadwalan kembali pembayaran hutang yang sudah
jatuh tempo, karena Pemerintah tidak mampu membayarnya. KKG diundang ke
Departemen Keuangan guna menerima penjelasan-penjelasan tentang
jalannya perundingan, dan juga diberikan arahan-arahan oleh 3 perusahaan
konsultan asing yang terkenal dengan nama “Troika”.
Saya lupa nama dari masing-masing perusahaan konsultan tersebut.
Dikatakan juga bahwa KKG beserta delegasinya (Dono Iskandar dari BI dan
Jusuf Anwar dari Depkeu) harus siap bahwa lamanya perundingan 24 jam non
stop tanpa dapat tidur, yaitu dari jam 10.00 pagi sampai jam 10.00 pagi
keesokan harinya.
KKG mengatakan bahwa dia tidak mau mengikuti skenario yang seperti
itu. KKG minta kepada para petinggi Depkeu yang hadir agar
mempersiapkan gambaran menyeluruh tentang posisi hutang luar negeri RI.
KKG akan mengatakan bahwa jumlah hutang yang demikian besarnya adalah
kesalahan negara-negara pemberi hutang juga, yang sejak tahun 1967
menggerojok hutang kepada Indonesia melalui IGGI/CGI.
Setelah mengucapkan pidato singkat ini KKG akan tidur, dan
mempersilakan mereka berunding sesukanya. Apa yang merekaputuskan akan
dipenuhi oleh KKG kalau dianggap reasonable dan fair, tetapi kalau
dianggap tidak fair akan ditolak dan KKG akan segera terbang kembali ke
Indonesia sambil mengatakan akan berani menghadapi resiko apapun.
Beberapa hari kemudian Marsilam Simanjuntak (Mensesneg) menelpon
KKG memberitahukan bahwa Presiden Gus Dur telah menerbitkan Keputusan
Presiden yang membentuk Tim Asistensi pada Menko EKUIN yang harus
mengawal (baca mengawasi dan mengendalikan) Menko EKUIN selama
perundingan Paris Club.
Ketuanya Widjojo Nitisastro dan Sekretarisnya SMI. Memang selama
perundingan Widjojo N. dan SMI mengapit KKG dan Bambang Sudibyo selama
24 jam, supaya mereka menjaga bahwa KKG benar-benar menanggapi pasal
demi pasal dari para anggota Paris Club.
Ketika Megawati menjabat Presiden, diberitakan di Kompas bahwa SMI
akan menjabat sebagai anggota Board of Directors IMF di Washington
mewakili Indonesia. KKG menanyakan hal itu kepada Mega. Beliau terkejut
sambil mengatakan : “kok enak saja, kan harus dengan persetujuan saya
?”, sambil mengatakan juga bahwa beliau tidak pernah mengetahuinya dan
tidak pernah menandatangani Keppres untuk itu.
Beberapa hari kemudian diberitakan lagi di Kompas bahwa SMI sudah
akan efektif menjabat per tanggal tertentu. KKG menanyakan hal itu lagi
kepada Megawati, dan dijawab bahwa Keppresnya memang sudah
ditandatangani dengan alasan “…daripada, daripada ….”
Konon kabarnya, sebelum susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I
terbentuk, SBY didatangi oleh Dubes AS Ralph Boyce dan Kepala Perwakilan
Bank Dunia di Jakarta Andrew Steer. Mereka mengatakan bahwa kendali
ekonomi hendaknya diberikan kepada SMI, Boediono dan Mari Pangestu.
Boediono menolak yang bisa dipahami.
Seusai sidang kabinet Megawati terakhir Boediono berpamitan dengan
rekan-rekan menterinya. Dia mengatakan bahwa salah satu dari kita bisa
saja diminta lagi oleh SBY untuk duduk dalam kabinetnya. Tetapi dia
(Boediono) tidak akan mau duduk dalam pemerintahan. Dia sudah fed up dan
akan kembali ke kampus saja. Saya termasuk yang diberitahu tentang hal
ini.
Maka saya tidak heran mendengar bahwa Boediono menolak tawaran SBY
untuk duduk dalam KIB-nya. Namun ketika SBY tidak tahan tekanan publik,
beliau mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet.
Saya mendengar bahwa Boediono sedang “digarap” habis-habisan untuk
mau menjadi Menko Perekonomian, dan terjadilah itu. Ini saya gambarkan
betapa mutlak pengaruh kekuatan internasional dalam mengendalikan
kebijakan ekonomi Indonesia.
Lebih hebat lagi, Jakarta Post tanggal 25 Mei 2009 memberitakan
bahwa ketika Boediono ditanya, faktor apa yang mendorongnya mau menerima
pencalonan dirinya sebagai Wakil Presiden dijawab olehnya : “because of
a big stream that I can not resist”, yang berarti karena arus
(kekuatan) besar yang tidak dapat ditahannya.
Saya merasa perlu menceriterakan ini karena hubungannya antara SMI
dan Boediono yang sama-sama anggota senior OTB dan sama-sama disodorkan
kepada SBY agar mereka dan Mari Pangestu memegang kekuasaan ekonomi di
Indonesia.
Kenyataan-kenyataan ini jelas relevan dalam menjelaskan mengapa
pengangkatan SMI sebagai managing director WB yang sangat tidak wajar
dan menghina bangsa Indonesia itu berjalan demikian mulusnya.
Di tengah-tengah menjalankan tugas sebagai Menkeu yang dalam
proses pemeriksaan oleh KPK sebagai tindak lanjut dari hasil kerja
Pansus DPR tentang Bank Century, SMI mengumumkan pengunduran dirinya
untuk menjabat sebagai managing director di WB mulai tanggal 1 Juni
2010, seperti yang kita ketahui bersama.
Saya mempunyai pengalaman yang menyangkut SMI dan Kejaksaan Tinggi
DKI Jakarta. Ceriteranya sebagai berikut : hibah dari Uni Eropa kepada
Indonesia menurut investigasi WB dikorup. Karena pelaksananya Bappenas,
maka saya “diperiksa” oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Yang dipermasalahkan bukan KKG mengkorup, tetapi mengapa KKG
membayar kembali hibah yang dituntut oleh WB sebesar USD 500 juta
sedangkan yang dikorup hanyalah sekitar USD 30.000. Mengembalikan hibah
seluruhnya sebesar USD 500 juta dianggap merugikan keuangan negara.
Tetapi ketika salah paham, bahwa justru KKG yang berkelahi tidak
mau membayar dan SMI yang sebagai Menteri Keuangan yang membayarnya,
SMI-nya tidak diapa-apakan. KKG juga tidak diapa-apakan, tetapi sempat
diperiksa. Berkaitan dengan ini ada hal sejenis yang terpublikasikan
secara luas. Indonesia menerima hutang dari WB sebesar USD 4,7 juta
untuk membangun proyek infra struktur. Menurut WB lagi sebagian dikorup,
dan karena itu minta supaya seluruh hutang yang USD 4,7 juta
dikembalikan.
Tidak jelas dikembalikan atau tidak. Rasanya dikembalikan dan
tidak ada konsekwensinya, walaupun dianggap merugikan dan mengacaukan
perencanaan keuangan negara. Saya kemukakan ini karena ada kecenderungan
segala sesuatunya akan kebal hukum apabila WB ada di belakangnya.
Jelas ini merupakan faktor yang bisa menjelaskan mengapa
pengangkatan SMI oleh WB langsung saja mematikan urusannya dengan KPK
tentang Century yang sebelumnya demikian gegap gempitanya.
SMI, Berkeley Mafia, Kekuatan Asing dan Sejarah Pekembangannya
Kekuatan asing yang boleh dikatakan menentukan semua kebijakan
ekonomi dan keuangan Indonesia diwakili oleh tiga lembaga keuangan
internasional, yaitu Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF.
Ketika KKG sebagai Menko EKUIN pertama kali harus mengucapkan
pidato di depan CGI dalam pembukaan rapat tahunannya, kepada KKG
disodorkan naskah pidato oleh staf yang jelas anggota OTB. Isinya sama
sekali tidak disetujui oleh KKG, dan dia minta kepada staf yang
bersangkutan supaya diubah dengan arahan dari KKG.
Dia menolak sambil mengatakan bahwa sudah menjadi tradisi sejak
dahulu kala bahwa pidato pembukaan IGGI/CGI oleh Ketua Delegasi RI
haruslah dibuat oleh WB melalui staf Menko EKUIN. Akhirnya saya
membuatnya sendiri yang isinya sesuai dengan hati nurani dan keyakinan
saya, yang ternyata isinya mengejutkan pimpinan sidang, Wakil Presiden
WB Dr. Kasum.
Pidato yang saya ucapkan mengandung tiga inti. Yang pertama, kalau
Indonesia tidak mampu membayar cicilan pokok utang beserta bunga yang
jatuh tempo, negara-negara IGGI/CGI ikut bersalah, karena barang siapa
memberi utang harus mengevaluasi apakah yang diberi utang akan mampu
membayar cicilan utang pokoknya beserta bunganya tepat waktu.
Kalau ternyata tidak bisa, negara-negara pemberi utang harus ikut
bertanggung jawab dalam bentuk hair cut. Bukan hanya penundaan
pembayaran cicilan utang pokoknya saja, yang sifatnya menggeser beban di
kemudian hari, sedangkan bunganya pembengkak.
Kedua, KKG protes penggunaan istilah “negara donor”, dan minta
supaya istilah yang sudah dibakukan oleh WB bersama-sama dengan para
ekonom OTB itu diganti dengan istilah “negara kreditur” atau “negara
pemberi utang”. Ketiga, KKG juga protes digunakannya istilah “aid” atau
bantuan, dan minta diganti dengan “loan” atau kredit. Kesemuanya tidak
dihiraukan. Belakangan saya mendengar dari Dr. Satish Mishra yang khusus
diperbantukan pada Indonesia oleh PBB selama krisis.
Dia memberitahukan kepada saya bahwa walaupun segala sesuatu yang
saya katakan masuk akal, para ekonom OTB sendiri bersama-sama dengan WB,
Bamk Pembangunan Asia dan IMF menyikapinya dengan “let him talk”.
Biarlah dia bicara, tidak akan ada dampaknya sama sekali.
Sejarah Penguasaan Ekonomi Indonesia oleh Kekuatan Asing dan Kelompok Berkeley Mafia
Mari sekarang kita telaah bagaimana beberapa ahli dan pengamat
asing melihat peran kekuatan asing dan kelompok Berkeley Mafia dalam
perekonomian Indonesia sejak tahun 1967.
Saya kutip apa yang ditulis oleh John Pilger dalam bukunya yang
berjudul “The New Rulers of the World.” Saya terjemahkan seakurat
mungkin ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
“Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah
terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation
mensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari
merancang pengambil alihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para
kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David
Rockefeller.
Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan
minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British
Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear,
The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah
orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonom
Indonesia yang top”.
“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley
Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari
pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di
Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal
yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir
yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh
murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang
besar.”
Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah
dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’
kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago,
yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad
Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konperensi.
‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu
kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan
dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan
duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang
dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya.
Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari
satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini,
ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum
untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi
seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil
dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang
persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri.
Freeport mendapatkan bukit (mountain) dengan tembaga di Papua
Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa
mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar
dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang
dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan
Kalimantan.
Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan
buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak
untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi
Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang
anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia
dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”
Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey
Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan
jalannya sebuah konperensi yang merupakan titik awal sangat penting buat
nasib ekonomi bangsa Indonesia selanjutnya.
Kalau baru sebelum krisis global berlangsung kita mengenal istilah
“korporatokrasi”, paham dan ideologi ini sudah ditancapkan di Indonesia
sejak tahun 1967. Delegasi Indonesia adalah Pemerintah. Tetapi counter
part-nya captain of industries atau para korporatokrat.
Para Perusak Ekonomi Negera-Negara Mangsa Benarkah sinyalemen John
Pilger, Joseph Stiglitz dan masih banyak ekonom AS kenamaan lainnya
bahwa hutanglah yang dijadikan instrumen untuk mencengkeram Indonesia ?
Dalam rangka ini, saya kutip buku yang menggemparkan. Buku ini
ditulis oleh John Perkins dengan judul : “The Confessions of an Economic
Hit man”, atau “Pengakuan oleh seorang Perusak Ekonomi”. Buku ini
tercantum dalam New York Times bestseller list selama 7 minggu.
Saya kutip sambil menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia sebagai berikut.
Halaman 12 : “Saya hanya mengetahui bahwa penugasan pertama saya
di Indonesia, dan saya salah seorang dari sebuah tim yang terdiri dari
11 orang yang dikirim untuk menciptakan cetak biru rencana pembangunan
pembangkit listrik buat pulau Jawa.” Halaman 13 : “Saya tahu bahwa saya
harus menghasilkan model ekonometrik untuk Indonesia dan Jawa”. “Saya
mengetahui bahwa statistik dapat dimanipulasi untuk menghasilkan banyak
kesimpulan, termasuk apa yang dikehendaki oleh analis atas dasar
statistik yang dibuatnya.”
Halaman 15 : “Pertama-tama saya harus memberikan pembenaran
(justification) untuk memberikan hutang yang sangat besar jumlahnya yang
akan disalurkan kembali ke MAIN (perusahaan konsultan di mana John
Perkins bekerja) dan perusahan-perusahaan Amerika lainnya (seperti
Bechtel, Halliburton, Stone & Webster, dan Brown & Root) melalui
penjualan proyek-proyek raksasa dalam bidang rekayasa dan konstruksi.
Kedua, saya harus membangkrutkan negara yang menerima pinjaman
tersebut (tentunya setelah MAIN dan kontraktor Amerika lainnya telah
dibayar), agar negara target itu untuk selamanya tercengkeram oleh
kreditornya, sehingga negara penghutang (baca : Indonesia) menjadi
target yang empuk kalau kami membutuhkan favours, termasuk basis-basis
militer, suara di PBB, atau akses pada minyak dan sumber daya alam
lainnya.”
Halaman 15-16 : “Aspek yang harus disembunyikan dari semua proyek
tersebut ialah membuat laba sangat besar buat para kontraktor, dan
membuat bahagia beberapa gelintir keluarga dari negara-negara penerima
hutang yang sudah kaya dan berpengaruh di negaranya masing-masing.
Dengan demikian ketergantungan keuangan negara penerima hutang menjadi
permanen sebagai instrumen untuk memperoleh kesetiaan dari
pemerintah-pemerintah penerima hutang.
Maka semakin besar jumlah hutang semakin baik. Kenyataan bahwa
beban hutang yang sangat besar menyengsarakan bagian termiskin dari
bangsanya dalam bidang kesehatan, pendidikan dan jasa-jasa sosial
lainnya selama berpuluh-puluh tahun tidak perlu masuk dalam
pertimbangan.”
Halaman 15 : “Faktor yang paling menentukan adalah Pendapatan
Domestik Bruto (PDB). Proyek yang memberi kontribusi terbesar terhadap
pertumbuhan PDB harus dimenangkan. Walaupun hanya satu proyek yang harus
dimenangkan, saya harus menunjukkan bahwa membangun proyek yang
bersangkutan akan membawa manfaat yang unggul pada pertumbuhan PDB.”
Halaman 16 : “Claudia dan saya mendiskusikan karakteristik dari
PDB yang menyesatkan. Misalnya pertumbuhan PDB bisa terjadi walaupun
hanya menguntungkan satu orang saja, yaitu yang memiliki perusahaan jasa
publik, dengan membebani hutang yang sangat berat buat rakyatnya. Yang
kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin.
Statistik akan mencatatnya sebagai kemajuan ekonomi.”
Halaman 19 : “Sangat menguntungkan buat para penyusun strategi
karena di tahun-tahun enam puluhan terjadi revolusi lainnya, yaitu
pemberdayaan perusahaan-perusahaan internasional dan
organisasi-organisasi multinasional seperti Bank Dunia dan IMF.”
Penutup
Fokus tulisan ini adalah peran SMI dalam perpspektif sejarah dan
kaitannya dengan hubungan yang sangat erat dan subordinatif pada
kekuatan-kekuatan asing, mungkin kekuatan corporatocracy yang diwakili
oleh tiga lembaga keuangan internasional, yaitu Bank Dunia, Bank
Pembangunan Asia dan IMF.
Sejak Konperensi Jenewa bulan November 1967 yang digambarkan oleh
John Pilger, dalam tahun itu juga lahir UU no. 1 tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing, yang disusul dengan UU No. 6 tahun 1968 tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri, dan serangkaian perundang-undangan dan
peraturan beserta kebijakan-kebijakan yang sangat jelas menjurus pada
liberalsasi.
Dalam berbagai perundang-undangan dan peraturan tersebut,
kedudukan asing semakin lama semakin bebas, sehingga akhirnya praktis
sama dengan kedudukan warga negara Indonesia. Kalau kita perhatikan
bidang-bidang yang diminati dalam melakukan investasi besar di
Indonesia, perhatian mereka tertuju pada pertumbuhan PDB Indonesia yang
produknya untuk mereka, sedangkan bangsa Indonesia hanya memperoleh
pajak dan royalti yang sangat minimal.
Bidang-bidang ini adalah pertambangan dan infra struktur seperti
listrik dan jalan tol yang dari tarif tinggi yang dikenakan pada rakyat
Indonesia mendatangkan laba baginya.
Bidang lain adalah memberikan kredit yang sebesar-besarnya dengan
tiga sasaran : pertama, memperoleh pendapatan bunga, kedua, proyek yang
dikaitkan dengan hutang yang diberikan di mark up, dan dengan hutang
kebijakan Indonesia dikendalikan melalui anak bangsa sendiri, terutama
yang termasuk kelompok OTB untuk ekonomi dan kelompok The Ohio Boys
untuk bidang politik.
Keseluruhan ini sendiri merupakan ceritera yang menarik dan
bermanfaat sebagai bahan renungan introspeksi betapa kita sejak tahun
1967 sudah dijajah kembali dengan cara dan teknologi yang lebih dahsyat.
Para penjajah Belanda dahulu menanam berbagai pohon yang buahnya
bernilai tinggi. Kekejaman mereka terletak pada eksploitasi manusia
Indonesia bagaikan budak. Kebun-kebunnya sampai sekarang menjadi PTP
yang masih menguntungkan.
Sejak tahun 1967, pengerukan dan penyedotan kekayaan alam
Indonesia oleh kekuatan asing, terutama mineral yang sangat mahal
harganya dan sangat vital itu dilakukan secara besar-besaran dengan
modal besar dan teknologi tinggi. Para pembantunya adalah bangsa sendiri
yang berhasil dijadikan kroni-kroninya. Apakah pengangkatan SMI menjadi
managing director WB merupakan bagian dari skenario ini saya tidak
tahu.
Kwik Kian Gie, Menko Ekonomi Kabinet Persatuan Nasional
1999-2000 dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional & Ketua
Bappenas Kabinet Gotong-Royong 2001-2004
http://www.rimanews.com/read/20131124/128234/kilas-balik-centurygate-mafia-kaki-tangan-yahudi-dan-amerika